CATATAN DARI PENULIS (80)

Comments 209 Standar

Halo teman-teman! 😀

Part terakhir dari novel blog seri : FRIDAY’S SPOT – JULIE LIGHT DAN KELAS PRANCIS !

Bab Selamanya – Part 3

…..akhirnya bisa dibaca. 😀

Ngomong-ngomong, aku berubah pikiran. Seri Friday’s Spot tadinya mau kuhentikan dari blog ini. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku masih ingin menulis cerita Julie dan Richard di sini. Mulai tahun depan, setiap update Friday’s Spot yang baru, aku akan menulis cerita lepas tentang Julie, Richard, dan kawan-kawan di sini. (Setelah Julie Light dan Kelas Prancis)

Ditunggu ya! 😉

 

BACA DARI AWAL (DAFTAR ISI)

 

 

UPDATE TERBARU >>

Novel ETERNAL FLAME sudah terbit di Gramedia! Yang mau pesan novel Eternal Flame bertandatangan Naya Corath, hubungi aku melalui e-mail nayacorath@gmail.com. 😀

20151201_195606[1]

20151129_150305[1]

Eternal Flame fix

 

UPDATE TERBARU >>

Aku membagikan e-book gratis untuk teman-teman pembaca blogku, silakan klik di postingan “Bagi-bagi E-Book Motivasi #NayaQuote GRATIS!”

11751468_1618653588375757_4799274557439409812_n

 

>> UPDATE TERBARU >>

Video #NayaTalk pertama-ku, tentang perubahan format novel blog Naya Corath.

 

Daftar Isi

Comments 89 Standar

Blog novel kali ini adalah seri Friday’s Spot : JULIE LIGHT DAN KELAS PRANCIS. Update yang kulakukan biasanya dua minggu sekali, kadang-kadang lebih sering, kadang lebih lama.. Tergantung ilham dari Tuhan. Hehehe.

Kisah ini menceritakan tentang Julie Light dan kekonyolan-kekonyolan yang dilakukannya saat menghadapi Kelas Prancis di sekolah barunya, Nimberland High School (NIMBER). Ada beberapa konflik kecil yang kutambahkan, beberapa seru-seruan ala SMA, sedikit komedi yang bisa menghibur di kala kalian merasa suntuk (yaa sedikit haha).. It’s just for fun… So, I hope you guys like it! 😀

Berikut ini aku paparkan daftar isi dari masing-masing bab yang ada di blog post ini (silakan klik link-nya untuk mengakses halaman tersebut):

BAB I – FRANCHOPHOBIA

  1. Franchophobia – bagian 1
  2. Franchophobia – bagian 2
  3. Franchophobia – bagian 3
  4. Franchophobia – bagian 4

BAB II – CATHY PIERRE

  1. Cathy Pierre – bagian 1
  2. Cathy Pierre – bagian 2

BAB III – SANG PANGERAN

  1. Sang Pangeran – bagian 1
  2. Sang Pangeran – bagian 2
  3. Sang Pangeran – bagian 3

BAB IV – JULUKAN

  1. Julukan – bagian 1
  2. Julukan – bagian 2

BAB V – PERTEMUAN

  1. Pertemuan – bagian 1
  2. Pertemuan – bagian 2

BAB VI – KELAS PRANCIS

  1. Kelas Prancis– bagian 1
  2. Kelas Prancis – bagian 2
  3. Kelas Prancis – bagian 3

BAB VII – LIPUTAN

  1. Liputan – bagian 1
  2. Liputan – bagian 2
  3. Liputan – bagian 3
  4. Liputan – bagian 4

BAB VIII – PERUBAHAN

  1. Perubahan – bagian 1
  2. Perubahan – bagian 2
  3. Perubahan – bagian 3

BAB IX – PENYELAMAT

  1. Penyelamat – bagian 1
  2. Penyelamat – bagian 2
  3. Penyelamat – bagian 3

BAB X – KRISIS

  1. Krisis – bagian 1
  2. Krisis – bagian 2
  3. Krisis – bagian 3
  4. Krisis – bagian 4

BAB XI – KEJUTAN

  1. Kejutan – bagian 1
  2. Kejutan – bagian 2
  3. Kejutan – bagian 3

BAB XII – RAHASIA

  1. Rahasia – bagian 1
  2. Rahasia – bagian 2
  3. Rahasia – bagian 3

BAB XIII – HARI YANG DITUNGGU

  1. Hari yang Ditunggu – bagian 1
  2. Hari yang Ditunggu – bagian 2
  3. Hari yang Ditunggu – bagian 3

BAB XIV – PERAYAAN

  1. Perayaan – bagian 1
  2. Perayaan – bagian 2
  3. Perayaan – bagian 3

BAB XV – ANCAMAN

  1. Ancaman – bagian 1
  2. Ancaman – bagian 2
  3. Ancaman – bagian 3
  4. Ancaman – bagian 4
  5. Ancaman – bagian 5

BAB XVI – SESI KEJUJURAN

  1. Sesi Kejujuran – bagian 1
  2. Sesi Kejujuran – bagian 2

BAB XVII – YANG SEBENARNYA

  1. Yang Sebenarnya – bagian 1
  2. Yang Sebenarnya – bagian 2
  3. Yang Sebenarnya – bagian 3
  4. Yang Sebenarnya – bagian 4

BAB XVIII – BAYANGAN

  1. Bayangan

BAB XIX – PERANG DINGIN

  1. Perang Dingin – bagian 1
  2. Perang Dingin – bagian 2
  3. Perang Dingin – bagian 3
  4. Perang Dingin – bagian 4

BAB XX – RENUNGAN

  1. Renungan – bagian 1
  2. Renungan – bagian 2
  3. Renungan – bagian 3
  4. Renungan – bagian 4

BAB XXI – KEBERANIAN

  1. Keberanian – bagian 1
  2. Keberanian – bagian 2
  3. Keberanian – bagian 3

BAB XXII – TEMAN

  1. Teman – bagian 1
  2. Teman – bagian 2
  3. Teman – bagian 3
  4. Teman – bagian 4
  5. Teman – bagian 5
  6. Teman – bagian 6

BAB XXIII – PENGAKUAN

  1. Pengakuan – bagian 1
  2. Pengakuan – bagian 2
  3. Pengakuan – bagian 3
  4. Pengakuan – bagian 4
  5. Pengakuan – bagian 5

BAB XXIV – SELAMANYA

  1. Selamanya – bagian 1
  2. Selamanya – bagian 2
  3. Selamanya – bagian 3

24 – Selamanya (3)

Comments 12 Standar

KEDUA PASANGAN itu berjalan beriringan dengan wajah kikuk. Yang perempuan jauh lebih kikuk daripada yang laki-laki. Yang laki-laki tidak berhasil menyembunyikan kegugupannya yang sangat kentara. Tidak ada seorang pun yang tidak tahu kalau saat ini ritme napas anak laki-laki ini semakin tidak beraturan.

Sekarang Kelas Sebelas, hari pertama masuk sekolah. Di tahun ajaran yang baru ini, Julie tidak hanya datang tepat waktu, tapi juga sibuk diganggu oleh teman-temannya yang tak henti-hentinya bertanya kenapa ia tidak mau dijemput Richard saat berangkat sekolah tadi pagi.

Tapi yang berbeda tahun ini tidak hanya soal ketidakterlambatannya di hari pertama sekolah atau ketidakbersediaannya dijemput oleh Richard tadi pagi. Yang membuat segalanya lebih buruk adalah kelasnya yang kedua. Kelas pertama—Geometri, sekelas lagi dengan Jessie.

Kelas yang kedua.. Kelas Prancis.

Dia—akhirnya, sekelas dengan Richard.

Berita ini langsung membuat The Lady Witches langsung heboh dan bising seperti sirene pemadam kebakaran.

“KENAPA KAU TIDAK INGIN DIJEMPUT RICHARD TADI PAGI, JULIE??” teriak Cathy.

“Dia sangat bodoh,” kata Cassandra sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku ingin sekali sekelas lagi dengan Richard tahun ini,” kata Lucy, “tapi sepertinya Julie lebih beruntung.”

“Ini akan jadi tahun yang seru di kafetaria,” Kayla ikut menimpali.

“Pegang tangannya, Richard!” seru Nick dari samping.

“PEGANG!!!”

Jessie, di sisi yang bersebrangan dengan Nick, langsung mendorong tubuh Julie tanpa pikir panjang ke arah Richard, sampai-sampai Julie hampir terjungkal, kalau saja tidak ditangkap Richard.

Julie mengamuk seperti naga.

“Kubunuh kau, Jess!”

Gadis-gadis itu cekikikan dan langsung berlari berhamburan menuju kelas mereka masing-masing. Cathy memberikan sebuah kode jempol mengisyaratkan semoga berhasil pada Julie.

“Sinting!” umpat Julie. Richard tersenyum simpul.

Julie tak sengaja menatap mata biru Richard yang sedang memandang ke arahnya, otot paru-parunya langsung kram. Siluet wajah itu, kulit putih porselen yang sama seperti yang pernah dilihatnya dulu saat mengantri di belakang Richard di kafetaria, setahun lalu. Mata biru khas milik Richard. Dan senyuman gulalinya yang menggiurkan.

Julie mendelik. Otot tubuhnya mulai berkontraksi lagi.

Selama satu setengah bulan ia menghabiskan waktu dengan The Lady Witches, Nick, dan Richard, dengan status barunya–sebagai kekasih Richard–tapi tetap saja ia tidak pernah terbiasa dengan kehadiran anak laki-laki itu. Richard, Nick, dan The Lady Witches memang selalu menemaninya di rumah sakit dan mengajarinya sepulang sekolah untuk mengatasi ketertinggalan pelajarannya di tahun ajaran yang lalu. Bahkan Richard dan Lucy sering mengunjungi rumahnya untuk mengajarinya dan memberikan setumpuk buku catatan selama ujian susulan di rumah Julie, tapi Julie dan Richard tidak pernah punya waktu khusus untuk berdua saja.

Mereka selalu saja kikuk satu sama lain.

Hal ini diperburuk lagi ketika Richard harus ke Islandia selama liburan kenaikan kelas. Julie tidak bertemu dengan Richard selama sebulan penuh. Perasaan yang ganjil seperti yang dulu dirasakannya ketika pertama kali mengenal Richard, akhirnya muncul lagi saat Richard menemuinya tadi malam.

Ia tidak bisa berlama-lama di dekat Richard. Ia ingin menghindarinya lagi.

Dan celakanya…… Di sekolah, di tahun ajaran baru ini, intensitas pertemuannya dengan anak laki-laki itu tidak akan bisa diakali lagi lagi.

Tidak bisa.

Julie tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Kepalanya mulai miring ke kiri, berlawanan dengan arah di mana tubuh Richard berada. Bola matanya juga memutar ke kiri. Tubuhnya mulai menjauh dari Richard, tiba-tiba terdorong sendiri, seolah-olah ada medan magnet aneh yang menghasilkan gaya tolak-menolak di antara mereka berdua.

Julie hampir saja menabrak tiang pintu kelas, kalau saja tidak segera ditarik oleh Richard.

“Hati-hati,” kata Richard lembut.

Julie panik.

Lampu merah di dada Ultramannya sudah berkedip-kedip mengirimkan sinyal darurat. Keringat dingin bercucuran di balik seragam sekolah. Kejadian yang dulu terulang lagi. Ia ingin kabur ke Planet Saturnus.

Julie bisa melihat puluhan pasang mata sedang menatap ke arah mereka sejak tadi. Ini membuat Julie semakin salah tingkah. Sebagian orang memandang iri, sebagiannya lagi cengar-cengir menggoda mereka–dua sejoli terkenal yang baru saja mereka lihat akhirnya pertama kali berduaan di sekolah.

Pemandangan pertama di sekolah.

Richard hanya bisa mengamati saja dalam diam, berusaha memberikan Julie waktu. Gadis itu semakin membuang muka darinya. Ia masuk ke dalam ruangan kelas lebih dahulu, lalu melihat dua bangku kosong di barisan paling depan, kolom kedua sebelah kanan, dekat dengan meja guru. Anak laki-laki itu memberi isyarat pada Julie untuk mengikutinya duduk di depan untuk mengisi dua bangku kosong itu. Tapi di luar dugaan, setelah Richard duduk, Julie tetap saja menyelonong ke arah belakang kelas.

Ia memilih duduk sendirian. Satu-satunya kursi kosong di pojok kanan belakang, menjadi pilihan tempat duduknya. Mereka sekarang duduk berjauhan sekali.

“Julie dan Richard. Julie dan Kelas Prancis!!”

Natalie Hortner, teman seklub Julie di Klub Koran Sekolah, tiba-tiba menyapanya. Gadis itu sedang duduk satu meja di sebelah Julie, kini berpangku tangan sambil keheranan. “Tapi…. Kenapa kau di sini??”

Julie menyengir seperti kuda.

“Oi. Ini sempurna. Kalau begini, aku tidak akan pernah kehabisan berita untuk ditulis di koran sekolah setiap minggu. Tapi–tunggu dulu. Kenapa kau duduk di sini, Julie?? Apa kau sedang bertengkar dengan Richard?”

Natalie memang dari dulu sangat menyukai Julie dan Richard. Bahkan di saat-saat Julie bermasalah dengan Cathy waktu itu, Natalie adalah yang pertama mendukung Julie. Tapi tidak berarti Julie menginginkan gadis ini jadi mata-mata dalam kehidupannya, apalagi sekarang ada Richard di dekatnya.

“Bukan urusanmu,” kata Julie.

“Urusanku.”

“Awas saja kalau kau tulis macam-macam di koran sekolah,” ancam Julie. “Mati kau.”

Gadis itu tertawa.

“Menurutmu sebaiknya apa yang harus kutulis untuk koran sekolah minggu depan? Sebaiknya tentang kisah cinta Julie-Richard di rumah sakit.. atau kisah cinta Julie-Richard di Kelas Prancis?”  tanya Natalie pada gadis yang tampak sedang menginginkan ketenangan hidup itu. Tapi Natalie tidak bisa mengenyahkan pikiran yang tadi.

“Kenapa kau duduk di sini??”

Julie mendongkol.

“Berisik.”

“Bagaimana rasanya pacaran dengan Richard?” tanya Natalie lagi dengan nada interogasi. Julie hanya mengorek hidungnya.

“Apa Richard sering main ke—”

“SHHHH!” Julie mendesis. “SHHHHH.”

Natalie melenguh.

“Kau narasumber yang membosankan, Julie.” Natalie memainkan penanya di sela-sela giginya. “Dari dulu sampai sekarang.”

“Aku tidak peduli,” Julie menjawab datar.

Natalie mendengus.

“Tapi tenang saja… Cepat atau lambat aku akan tahu jawabannya,” kata Natalie tanpa menyerah. Natalie akhirnya membuka obrolan baru. “Bagaimana kabarmu, Julie? Tubuhmu,” Natalie melengkapi pertanyaannya. “Sudah berfungsi semua? Tulang-tulangmu ? Sudah pulih semua?”

Julie memutar bola matanya.

“Baik-baik saja, tapi otakku ketinggalan di rumah sakit. Aku sudah mencarinya kemana-mana, tapi sepertinya ketinggalan di kamar mandi rumah sakit.”

“Apa?”

“Aku sedang mencucinya dengan odol di atas bath tub, di tengah siraman air hangat dari shower kamar mandi rumah sakit. Kata dokter, mencuci otak dengan odol bisa meningkatkan IQ-ku jadi yaa kulakukan saja. Tapi tiba-tiba Mom memanggilku, aku terburu-buru, jadi kuletakkan begitu saja otakku di atas bath tub. Aku lupa mengambilnya lagi. Kurasa dia sedang kedinginan, tergenang di antara air hangat yang sudah mendingin.”

Natalie berusaha mencerna penjelasan Julie barusan. Percakapan itu membuat dua orang murid yang berada di dekat mereka terpancing untuk menanggapi.

“Apa yang kedinginan?” tukas Emilia keheranan.

Gardner menyela sambil tertawa.

“Jangan dipikirkan, Em. Dia hanya asal sebut saja. Kau tidak akan pernah bisa serius dengan Julie,” kata Gardner mengingatkan. “Kau bisa jadi gila kalau menganggap serius semua omongannya.”

Julie menambahkan lagi, “Otakku kedinginan sekarang. Aku lupa meninggalkan handuk di rumah sakit. Dia pasti kedinginan mencari handuk saat ini.”

Mereka tertawa.

Beberapa belas menit berikutnya, rombongan yang saling mengobrol itu kini bertambah ramai. Tidak hanya Natalie, Emilia, dan Gardner, Judas dan Clara pun ikut bergabung. Julie sedapat mungkin menghindari topik yang membicarakan soal hubungannya dengan Richard, walaupun sedari tadi sangat jelas sekali kalau hanya itulah sebenarnya bahan obrolan yang sangat ingin mereka dengar.

“Bagaimana rasanya berpacaran dengan Richard?” tanya Gardner, kembali mengangkat topik yang lama. “Kudengar liburan kenaikan kelas kemarin Richard pergi ke Islandia. Apa perasaanmu? Kau tidak merindukannya?”

“Aku merindukan Pokemon,” jawab Julie asal-asalan. “Dan Powerpuff Girls. Kadang-kadang si kucing Garfield menemani–kau tahu kan, Garfield. Tapi Power Rangers bilang mereka tidak ingin dilupakan. Aku menonton mereka sekali-sekali–tapi Cathy bilang aku seharusnya bertambah dewasa dan menonton Gossip Girl saja.”

“Kenapa kau tidak duduk di dekat Rich–”

Julie langsung memotong cepat. “NGOMONG-NGOMONG. Aku dengar gosip baru. Natalie, kau suka dengan Jerry, ya!” Julie menyeringai puas, lebar sekali.

Natalie terkejut.

“Tidak,” kilah Natalie sengit.

Tapi muka yang merona merah itu tidak bisa menipu para Nimber yang seluruh sensor mereka sangat peka terhadap gosip terbaru. Dalam sekejap, mereka langsung menginterogasi gadis itu dengan membabi buta. Sepuluh menit penuh mereka mengorek-ngorek hal itu, berujung pada pengakuan Natalie tentang perasaan yang sesungguhnya pada Jerry.

“Ya. Aku menyukainya,” kata Natalie pasrah.

Julie bersorak penuh kemenangan.

“Tunggu saja sampai The Lady Witches tahu konfirmasi berita ini.”

“Tidak, tidak! Julie—jangan! Aku tak ingin Jerry tahu,” kata Natalie.

Julie sibuk mengambil ponsel barunya dan mengetikkan pesan singkat untuk seluruh anggota geng The Lady Witches. “JULIE!!” teriak Natalie histeris sambil merebut ponsel Julie.

Mereka masih berebutan ponsel Julie sampai beberapa puluh detik lamanya.

“Di mana M.Stuart??” keluh Natalie. “Alih-alih membicarakan soal perasaanku dengan Jerry, atau membuat gosip baru tentangku, seharusnya kita sedang belajar bahasa Prancis sekarang.”

Sudah lebih dari separuh jam pelajaran berlalu, tapi M.Stuart, guru Kelas Prancis mereka yang baru di tahun ajaran Kelas Sebelas, belum datang juga. Dari tadi tidak ada tanda-tanda guru pengganti, seolah-olah seluruh pendidik Nimberland lupa pada keberadaan mereka di kelas ini. Miss Tamara Lautner juga tidak datang sama sekali untuk memberikan konfirmasi.

Julie mulai menikmati topik yang baru ini.

“Seperti apa Mr.Stuart ini?” tanya Julie.

Natalie menimpali dengan semangat.

“Perfeksionis. Sangat menyiapkan bahan ajarnya dengan baik. Ia seperti ensiklopedia berjalan, sangat tahu segala hal tentang seluk-beluk negara Prancis, bahkan kadang-kadang dia membantu murid mengerjakan peer Sejarah Dunia tentang Revolusi Prancis. Kudengar banyak siswa pintar Kelas Sebelas tahun ajaran kemarin yang suka dengan gaya mengajarnya.”

Julie sudah pernah dengar soal itu. Menurut kabar burung yang beredar, laki-laki ini adalah lulusan terbaik jurusan bahasa Prancis dari Eropa, yang sengaja didatangkan khusus oleh walikota Eastcult untuk menjadi perwakilan guru pengajar bahasa Prancis di Nimberland.

“Oh ya?” Julie tampak sangsi.

“Tapi banyak juga yang menderita,” lanjut Emilia. “Materi yang diajarkannya terlalu sulit untuk sebagian anak, bahasa yang dipergunakan sukar dicerna. Standarnya juga terlalu tinggi. Hampir separuh murid Kelas Sebelas mendapat nilai di bawah rata-rata saat ujian kenaikan kelas kemarin, sampai-sampai mereka harus mengadakan ujian ulangan. Itu pun masih banyak yang gagal, baru bisa lulus bersyarat. Orang-orang bodoh seperti kita tidak akan bisa selamat.”

Tidak lulus kelas Prancis?

Julie memundurkan kursinya untuk meregangkan otot. Berkebalikan dari yang dikhawatirkan gadis ini, ia sama sekali tidak peduli soal itu. Tidak lulus Kelas Prancis memang sudah menjadi menu makanan sehari-harinya dari dulu. Ia tidak ambil pusing.

“Tak apalah. Asal bukan M.Wandolf.” Ia tertawa lepas.

Julie tidak bercanda. Dari seluruh guru Kelas Prancis yang pernah mengejarinya selama ini, M.Wandolf adalah yang paling membuatnya sengsara.  Laki-laki itu memang tidak sejahat Mlle.Hellen juga tidak seabsurd guru-guru kelas Prancisnya dulu di Springbutter dengan hukuman tanpa henti karena kebodohannya di Kelas Prancis. Laki-laki itu–lebih mengerikan lagi.

Ia memberikan Julie… Kepercayaan.

Trik psikologis, atau apa pun itu, yang dulu pernah dijelaskan Richard padanya.

“Apa yang salah denganmu? M.Wandolf itu menyenangkan. Aku suka,” protes Natalie. “Kenapa kau tidak menyukainya?”

“Dia satu-satunya guru Kelas Prancis yang membuatku mengerjakan tugas membuat cerpen bahasa Prancis, Natalie,” kata Julie dengan sungguh-sungguh. “Cerpen?? Bayangkan. C.E.R.P.E.N. Siapa di antara kalian yang pernah membuat cerpen dalam bahasa Prancis? Tunjuk tangan?”

Mereka menggeleng dan cekikikan.

“M.Wandolf adalah satu-satunya orang yang selalu menyuruhku menjadi asistennya di Kelas Prancis, a.k.a badut di depan kelas. Ke mana pun aku pergi, dia selalu mencariku. Hal pertama yang dia ucapkan di dalam kelas adalah namaku.”

Judas, yang pernah sekelas dengan Julie di tahun ajaran kelas Sepuluh, mencoba menirukan suara M.Wandolf saat memanggil Julie. “Seperti ini–Mademoiselle Julie…. Mademoiselle…. Mademoiselle Julie.”

Mereka tertawa. Julie merasa bersyukur akhirnya ada yang memahami perasaannya.

“Kapan pun membaca buku teks, namaku akan selalu muncul menjadi model peragaannya. Aku tak pernah mengerti kenapa dia begitu terobsesi padaku.”

“Karena feromon?” kata Natalie sambil tertawa.

Istilah itu sekarang jadi istilah yang populer di Nimberland, sejak Kayla selalu mengumandangkannya kemana-mana setiap kali mereka membicarakan soal daya tarik Julie yang tidak bisa dijelaskan.

Julie hanya mendengus saja.

“Bagaimana jika M.Wandolf mengajar lagi di sini? Aku dengar kabarnya kemarin laki-laki itu ingin sekali pindah mengajar ke kelas Sebelas, semata-mata untuk bisa mengajar di kelasmu,” kata Judas.

“Tidak.” Julie menjawab cepat. “Tidak akan. Kalau itu terjadi, maka aku–”

Julie tak sempat menyelesaikan kata-katanya. Ia terdiam saat anak laki-laki berkulit seputih pualam yang tadi tidak digubrisnya itu, tiba-tiba bangkit dari bangku depan, dan menghampirinya di belakang dengan wajah cemas dan marah.

“Julie,” kata Richard dengan dingin dan perlahan. “Aku ingin bicara sebentar. Di luar.”

Kemunculan Richard yang tidak terduga di tengah-tengah mereka, serta-merta membuat rombongan geng gosip itu terkejut.

“Ummm–bagaimana kalau di sini saja?” kata Julie.

“Kumohon,” kata Richard dengan nada putus asa.

Oh my God,” teman-teman Julie yang lain mulai berbisik-bisik satu sama lain. Mereka bersikut-sikutan, memberi isyarat tentang drama yang sedang terjadi di depan mereka saat ini. Tidak pernah terjadi mereka dengar sebelumnya, percakapan di antara Julie dan Richard, dan melihat dari ekspresi Richard yang benar-benar berbeda, kali ini tampaknya akan sangat serius.

“Julie.” Richard memanggil namanya sekali lagi. Gadis itu akhirnya mengangguk pelan.

Mereka yang menonton, tercenung kaku.

Julie bangkit dan mengikuti Richard yang berjalan ke luar kelas. Ia menoleh sebentar ke arah teman-temannya, yang bersorak, melambai-lambai, dan memberikan semangat tanpa suara kepadanya.

Saat Richard membuka pintu kelas, leher putih dan rambut keemasan Richard yang mempesona, tanpa sengaja menarik perhatian. Sisi rahangnya yang lancip bertemu dengan kedua telinga Richard, seolah menjadi bingkai yang sempurna bagi bibir tipis Richard yang merah mengeriting.

Ujung bibir itu melekuk ke bawah. Tidak tersenyum lagi.

Pemandangan itu tiba-tiba memberikan sensasi yang aneh dalam diri Julie. Ia berusaha ingin bisa bersikap santai dari tadi, mempertahankan kewarasannya selama berada di dekat Richard. Tapi kali ini–jantung gadis itu berdegup dengan sangat cepat, mengikuti ritme langkah kaki mereka.

 

***

Richard akhirnya berhenti di koridor yang cukup sepi. Saat itu, Julie sedang berusaha menemukan objek-objek lain di sekitar dinding polos yang bisa menarik perhatiannya. Sialnya tak satu pun semut yang hinggap di mana pun. Bahkan lalat pun tidak.

“Lihat aku, Julie.” Richard tampak sangat serius. Dadanya naik-turun tidak beraturan, berusaha benar mengontrol emosinya.

Julie terpaksa menatap mata biru Richard. “Apa?”

“Kenapa kau menghindariku?”

Julie tak langsung menjawab. Kakinya kini sedingin es. Lidahnya tiba-tiba kaku. Otaknya tidak berfungsi dengan benar, mungkin menghilang.

“Tidak.”

Itu saja yang diucapkannya.

Pancaran lemah dan kecewa memancar dari mata Richard yang sungguh-sungguh berharap Julie dapat menjelaskan lebih baik daripada ini.

Richard bermuram. Setelah perjalanan panjang sampai ke titik sekarang ini, Julie masih saja terasa sangat jauh darinya. Sudah cukup lama ia bersabar, tapi kali ini ia sudah tidak tahan lagi. Hubungannya dengan Julie tidak ada bedanya dengan dulu, ketika mereka masih sama-sama tidak saling mengenal.

Mereka tetap saja menjadi orang asing yang saling menjauh.

“Aku harus bagaimana, Julie?” kata Richard begitu dalam. “Bahkan setelah mendapatkan hatimu saja, kau masih menjauhiku. Apa yang harus kulakukan?”

Julie menggigit bibirnya.

Pembicaraan ini mirip seperti pembicaraan di belakang sekolah waktu itu, saat Richard justru semakin marah padanya ketika mereka berdua akhirnya benar-benar berbicara untuk menyelesaikan masalah mereka dengan Cathy. Bagi Julie, Richard selalu memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Julie tidak tahu apa yang harus dilakukan. Semua yang dialaminya selama setahun ini–semua yang dirasakannya pada Richard–adalah perasaan yang benar-benar baru untuknya.

Ia pun tidak mengerti.

“Apa yang kau inginkan, Julie?” tanya Richard. “Apa yang kau ingin AKU LAKUKAN?”

“Berhenti jadi drakula,” seloroh Julie tanpa disadarinya.

Richard terkejut. “Apa?”

“Kau putih, kerempeng, dan dingin. Seperti drakula.”

“Drakula?” Temperamen Richard mulai menurun, karena kebingungan.

“Drakula cacing,” kata Julie lagi.

Rasa emosi campur aduk kini bergejolak dalam diri Richard. Ia tidak tahu harus bersikap apa. Ia ingin tertawa. Tapi ia masih ingin menunjukkan keseriusannya pada Julie.

“Aku serius, Julie.”

Julie, tiba-tiba ingin menembak dirinya sendiri dengan pistol. Kalimat-kalimat itu, lagi-lagi keluar begitu saja tanpa permisi. Julie ingin bisa menjelaskan panjang lebar tentang perasaan dingin, aneh, dan kejang yang ia rasakan tiap kali berdekatan dengan Richard, seolah-olah anak laki-laki itu menyedot seluruh aura hidupnya.

Tapi bukan DRAKULA CACING.

“Kau yang membuatku seperti ini,” kata Julie akhirnya setelah mencubit pahanya sekuat tenaga, supaya mulutnya bisa sinkron dengan otaknya.

“Apa maksudmu?” tanya Richard.

“Aku tak pernah bersikap seperti ini pada orang lain. Hanya padamu saja.” Julie menjelaskan.

“Kenapa?” tanya Richard lagi.

“KENAPA? Justru aku yang seharusnya bertanya, kenapa kau membuatku jadi aneh seperti ini?” Julie tertawa kecil. Mereka berdiam-diaman selama beberapa puluh detik. Richard semakin bingung apa maksudnya. Ia tidak bisa menebak apa yang dipikirkan gadis ini.

“Kau ingin aku menjawabnya?” tanya Richard.

Julie mengangguk.

“Aku.. tak tahu?” kata Richard. “Kau yang bersikap aneh padaku. Kau yang menjauhiku. Aku tak mengerti.”

“Sama. Aku juga tak mengerti,” jawab Julie. “Kenapa?”

Mereka berdiam-diaman lagi.

“Karena aku.. Drakula Cacing?” tanya Richard ragu-ragu. Kata-kata Richard barusan membuat perut Julie bergejolak. Julie terpaksa membuang mukanya untuk menyembunyikan gelinya. Tak lama kemudian, mereka bertatapan lagi. Kali ini, mereka saling menahan tawa.

Richard merasa amarahnya mulai mereda.

“Kau selalu membuatku bingung, Julie. Selalu.”

Tiba-tiba, kilap kepala seorang pria gemuk berkepala setengah botak mengacaukan konsentrasi mereka. M.Wandolf. Lengkap dengan buku tebal kelas Prancis dan jas coklat butut kesayangannya.

Bonjour, M.Soulwind!” sapa laki-laki itu dengan gairah yang luar biasa dan bersemangat sekali. “Qu’êtes-vous en train de faire en ce moment? [1]

Julie langsung gelagapan. Ia menutup wajahnya di balik tubuh Richard.

Richard tersenyum sopan.

Bonjour, Monsieur,” jawab Richard ramah, sambil mengamati Julie yang masih berkelut di belakang punggungnya. “Aku sedang berbicara dengan Julie, meluruskan beberapa hal.”

Ah oui, je vois [2],” kata laki-laki itu. “Tidakkah kalian sedang ada kelas saat ini?”

Si, Monsieur. Cours de français [3],” jawab Richard. “Tapi M.Stuart belum datang. Dan kebetulan aku dan Julie sedang punya masalah yang harus diselesaikan sekarang. Kami akan masuk ke kelas setelah masalah ini selesai.”

Laki-laki itu termanggut-manggut.

Bien passe une bonne journée! [4]” M.Wandolf mengeraskan suaranya untuk menyapa Julie yang masih bersembunyi. “Mademoiselle!

Julie melenguh keras. “Nguuh.”

Laki-laki itu tersenyum simpatik, seperti merindukan reaksi yang unik itu dari murid lama kesayangannya. Ia pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang kembali melanjutkan percakapan. Setelah M.Wandolf pergi, Julie segera menyingkir dari punggung Richard.

“Sampai di mana kita tadi?” tanya Richard.

Julie hanya berdegung saja seperti lebah. Matanya menari ke sana-ke mari. Richard mendesah. Hal seperti ini terjadi lagi. Ia mencengkram lengan kiri Julie sebentar, untuk mendapatkan perhatian gadis itu lagi, lalu langsung ia lepaskan. Ia mendesah sangat panjang.

“Julie. Aku tidak bisa begini lagi,” kata Richard.

“Begini apa?” tanya Julie.

Richard semakin gemas. Ia sesungguhnya bukan tipe anak laki-laki yang suka berbicara banyak–ia seorang pendiam. Tapi kini ia sadar, ia harus lebih tegas menyampaikan apa yang ia inginkan pada Julie, karena gadis ini benar-benar tidak mengerti apa yang sudah ia perbuat terhadap hidupnya. Betapa pusingnya dia akibat sikap membingungkan gadis ini.

“Ini. I. N .I.” Richard berusaha menjelaskan lebih sabar. “Tadi baru saja kita saling menahan tawa, tapi sekarang kita menjadi seperti orang asing lagi. Aku tidak bisa begini.”

“Aku tidak mengerti.” Julie menggumam.

“Aku juga tidak mengerti,” kata Richard frustasi.

“Jadi?”

“Jadi—jangan bersikap seperti ini padaku,” terang Richard. “Aku tak tahu lagi bagaimana cara menjelaskannya padamu. Kau selalu bersikap seperti memusuhiku. Seolah-olah aku ini tidak pernah ada.”

“Tidak. Aku tidak seperti itu,” kilah Julie. “Aku tidak memusuhimu.”

“Lalu kenapa kau selalu menghindariku? Kau selalu menghindari berbicara denganku. Jangan bilang karena aku drakula cacing lagi. Itu sudah tidak lucu.”

Julie ingin cemberut. “Memang tidak lucu.”

Mereka berdua saling berpandangan. Entah apa yang ada pada wajah gadis ini, sehingga mimiknya bertolak belakang dengan apa yang baru saja diucapkannya.

Julie–melihat seutas tipis senyum Richard yang manis tapi berusaha ditahan–tidak bisa mengontrol dirinya untuk tidak menggoda anak laki-laki itu dengan kalimat berikutnya.

“Kalau tidak lucu, jangan senyum-senyum.”

Wajah Richard memerah. Percakapan dengan gadis ini menyiksanya. Ia tidak bisa terus berpikir logis kalau Julie bereaksi seperti ini.

“Baiklah. Kau menang,” kata Richard. “Aku akan tersenyum sepuasnya sekarang.”

Sekarang ia menunjukkan senyum gulalinya tanpa ditahan lagi. Mereka berdua akhirnya tertawa lepas.

“Apa kau sedang menstruasi?” tanya Julie. Richard menarik garis senyumnya.

“Iya. Aku butuh jus cranberry.”

Mereka cekikikan.

Aneh memang, Richard pun tidak mengerti kenapa pembicaraan serius yang ingin dibawanya tadi malah jadi berakhir seperti ini. Berminggu-minggu lamanya ia menahan kekesalan karena selalu dijauhi oleh Julie–bahkan pagi ini, ketika Julie bahkan tidak mau duduk sebangku dengannya, dan tidak menggubrisnya sama sekali, padahal mereka berada di kelas yang sama.

“Kau sudah tidak marah lagi?” kata Julie dengan perasaan membaik.

Richard menggeleng. Tapi ia masih tidak puas dengan kesimpulan percakapan ini. Dalam sekejap, gadis ini mungkin akan pura-pura tidak mengenalnya lagi. Dan ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya ke Julie.

“Jadi, apa yang kau inginkan, Julie? Apa yang harus kulakukan agar kau bisa seperti ini lagi padaku?” tanya Richard dengan lembut dan sopan.

“Seperti ini apa?” Julie menggaruk lehernya.

Richard kelelahan.

“Seperti INI. Bersikap baik kepadaku. Berbicara padaku dengan menjadi dirimu sendiri, Julie yang menyenangkan. Julie yang tidak menganggapku seperti angin yang tidak kelihatan.”

“Aku selalu bersikap baik padamu.”

Tetap saja tidak ada kesimpulan. Richard sudah tidak sabar lagi. Ia melontarkan nada protes. “Kenapa sulit sekali berbicara denganmu?”

Julie mengangkat pundaknya.

“Baiklah,” kata Richard. Ia mulai mengangguk paham. “Kalau begitu, begini saja. Akulah yang akan membuat permintaan. Kau selalu sengaja menghindariku. Benar? Jangan hindari aku lagi. Oke? Jangan hindari aku.”

“Aku tidak sengaja menghindarimu. Aku terlahir seperti ini,” kata Julie.

“Jangan hindari aku.”

Anak laki-laki itu menegaskan kalimatnya sekali lagi.

“Kau seharusnya sudah tahu. The Lady Witches selalu membicarakannya. Si Julie yang Bodoh. Aku saja tidak pernah mengerti kenapa aku begini. Apa pun yang kulakukan, itu di luar kendaliku.”

Richard langsung memotong,”Jangan–”

“–hindari aku,” sambung Julie. Ia menyengir lebar.

Yeah, yeah. Aku akan berusaha sekuat tenaga, Richard. Janji,” kata Julie. “Tapi aku tidak jamin bisa berperilaku normal ketika aku kesulitan berbicara dengan organ-organ tubuhku sendiri. Dan kau harus tahu, Richard. Itu sering terjadi ketika aku berada di dekatmu. Aku jadi orang yang berbeda. Aku juga tak mengerti. Kau adalah kasus khusus dalam hidupku.”

Kau adalah kasus khusus dalam hidupku. Apa itu pujian?” tanya Richard.

Julie tersenyum. “Ya.”

⁠⁠⁠Mereka berdua terlarut dalam rona senyum satu sama lain. Seperti orang yang baru saja jatuh cinta.

“Aku tidak bisa janji tidak menjauhimu. Itu insting laba-labaku,” lanjut Julie. “Tapi aku akan berusaha keras kalau sedang waras. Aku akan berusaha–menjadi kekasih yang normal.”

Lidah Julie rasanya tersangkut di kata ‘kekasih’. Ia berdehem sebentar.

Richard memilin senyumnya. “Baiklah.”

Kekakuan dan sikap kikuk di antara mereka mulai mencair dan menghilang, walaupun sedikit sisanya masih tetap ada. Sang anak laki-laki–tetap saja takut menggengam tangan si anak perempuan. Dan si anak perempuan, masih belum bisa berlama-lama menatap mata biru menyilaukan Richard.

Tapi bagi Richard itu sudah tidak penting. Sekarang, melihat tawa Julie saat bersama dengannya saja sudah lebih dari cukup membuat hatinya membuncah bahagia.

“Mari kita kembali ke kelas,” Richard menyudahi percakapan ini dengan hati yang lebih tenang. Julie mengangguk. “Tapi jangan perlakukan aku seperti tadi. Duduklah di dekatku. Aku akan mengajarimu Kelas Prancis.”

Sinar bahagia yang dipancarkan Richard mulai membuat Julie merasa nyaman. Hawa dingin yang tadi menjalari tubuhnya, mulai menghangat. Tubuh tinggi dan lengan panjang yang kini ada di hadapannya, mendahuluinya di depan saat mereka berjalan kembali ke kelas. Mereka tidak berpegangan tangan. Tidak ada satu pun yang berani memulai duluan.

Julie ingat bagaimana Cathy dulu merangkul lengan itu di sampingnya. Ia mulai membayangkan jika itu terjadi juga padanya dan Richard–Julie merangkul Richard, sebuah ide yang luar biasa–tapi sengatan listrik kecil yang tiba-tiba menyetrum jantungnya, dalam sekejap membuat Julie langsung menampik jauh-jauh bayangan itu.

Richard membuatnya nyaman. Tapi juga membuatnya tidak nyaman. Dia adalah kontroversi yang mewarnai hidup Julie, yang akan selalu berbekas selamanya.


[1] Apa yang kalian lakukan saat ini?

[2] Ah begitu!

[3] Iya, Pak. Kelas Prancis.

[4] Baiklah. Semoga harimu menyenangkan.

***

Saat Richard membuka pintu kelas, suara teriakan yang sangat kencang memekakkan telinga mereka.

Semua orang berdiri bersiul menyoraki kedatangan mereka. Di tengah-tengah kelas, seorang laki-laki gemuk tua berkepala separuh botak, menyambut dengan setengah menunduk dan satu lutut yang ditekuk.

Julie dan Richard saling berpandangan. Mereka mendelik.

Monsieur. MADEMOISELLE,” ucap M.Wandolf dengan nada mantap dan intonasi yang dipilih, seperti seorang pembawa acara. “Sekarang kita mulai pelajaran pertama kita di Kelas Prancis hari ini: Drama Napoleon dan Josephine di depan kelas!” Laki-laki itu bergumam. “Itu pelajaran semester dua, tapi tidak apa-apa. Aku ingin mempraktekkannya sekarang. Kita sudah punya Romeo dan Juliet kita! Berikan tepuk tangan yang meriah!”

M.Wandolf menyuruh dua orang anak memberikan buku pelajaran mereka pada Richard dan Julie. Richard tampak kebingungan. Julie–justru shock kenapa bisa ada M.Wandolf di kelas mereka.

“Buka halaman 158,” kata guru gemuk berkepala setengah botak itu. Kata-katanya merentet seperti kereta api. “CEPAT. CEPAT. CEPAT.”

Richard lebih kalem daripada Julie. Ia menurut saja.

Ia membuka halaman buku itu persis seperti yang diperintahkan dan membaca dialog yang pertama.

Je me réveille rempli de pensées de vous. Votre portrait et la soirée enivrante que nous avons passée hier ont laissé nos sens dans l’agitation [1],” kata Richard, dengan suara merdunya yang terdengar seperti dentingan piano. “Douce et incomparable Joséphine, quel effet étrange vous avez sur mon cœur!” [2]

Julie membelalak. Ia memberikan isyarat kode ke Richard dengan seluruh gerakan tubuhnya agar anak laki-laki itu tidak melakukan apa yang diperintahkan M.Wandolf padanya–mereka bahkan tidak tahu kenapa bisa ada guru ajaib itu di sini–tapi Richard tidak peduli. Dia sangat menikmati permainan ini.

“Richard!” bisik Julie setengah mati.

Anak laki-laki itu kini sudah berubah menjadi Napoleon Bonaparte, sang Jenderal Perang termashyur, dan Josephine harus segera menjawab dialognya dalam bahasa Prancis, karena sudah dua menit lamanya Josephine masih bergoyang-goyang tidak karuan di depan kelas.

Seisi kelas nyaring sekali meneriaki mereka berdua. Julie sesak napas.

Ini benar-benar bencana.


[1] Aku terbangun hanya memikirkanmu. Bayanganmu dan malam memabukkan yang kita habiskan bersama kemarin telah mengacaukan indera-indera kita.

[2] Sayangku yang tak ada tandingannya, Josephine, sungguh efek aneh apa yang telah kau berikan kepada diriku ini!

 

***

 

“APA YANG TERJADI DI KELAS PRANCIS TADI PAGII???” teriak Cathy dengan suara lantang.

Gadis-gadis yang lain ramai mengguncang tubuh Julie. Kehebohan mereka mulai menggema lagi di kafetaria, hampir-hampir beresonansi di seluruh langit-langit gedung Nimberland.

Julie tersenyum penuh arti. Kali ini, tidak ada seorang pun geng The Lady Witches yang sekelas dengannya di Kelas Prancis, dan itu artinya, kini–tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menceritakan apa pun yang terjadi di Kelas Prancisnya selama satu tahun ke depan. Tidak ada Jessie si Mulut Ember yang selalu menghancurkan imagenya sepanjang masa. Hanya ada Richard–anak laki-laki itu pun pasti tidak akan mungkin berbicara panjang lebar pada mereka.

Julie menutup mulutnya rapat-rapat.

Karena gadis itu mulai bersikap mengesalkan, Jessie mulai menyikutnya dengan serangan membabi buta. Julie menangkis serangan itu dengan kedua tangannya, tapi tulang rusuknya yang baru saja membaik itu tiba-tiba menjadi ngilu.

“Sakit, Bodoh!”

Jessie menghardik keras. “Kau harus menceritakan sesuatu, Anak Sapi!”

“Baiklah!” kata Julie. “Begini ceritanya–” Mereka mendengarkan dengan seksama. Gadis itu sengaja memberi jeda lewat tarikan napas yang amat panjang.

“Cicak di dinding melahirkan bayi iguana.”

“JULIEEEEEE!!!!”

Kedua saudara kembar itu kembali berkelahi.

 

 

 

– THE END –

24 – Selamanya (2)

Comments 35 Standar

Butuh waktu dua setengah bulan bagi Julie untuk melakukan recovery, sampai akhirnya ia benar-benar diizinkan bersekolah oleh kedua orangtuanya. Lily Light, sebenarnya tidak bermasalah jika anak perempuannya itu langsung bersekolah setelah keluar dari rumah sakit, tapi Mr.Light menolak.

Tidak banyak momen yang membuat Ethan yang biasanya permisif dan baik hati ini akhirnya berubah menjadi laki-laki luar biasa keras kepala. Tapi Julie memang anak perempuan satu-satunya, anak kesayangannya. Ethan bahkan hampir saja menyuruh Julie cuti sekolah selama setahun, kalau saja Julie tidak ngambek dan mogok makan selama setengah hari—belajar trik ngambek Cathy. Dua setengah bulan adalah waktu yang paling cepat yang bisa Julie negosiasikan, dengan argumen bahwa ia ingin mengikuti ujian kenaikan kelas. Seluruh ketinggalan pelajarannya bisa ia susul berkat bantuan Lucy Si Pintar, yang selalu mengajari hampir setiap pulang sekolah, bergantian dengan anggota The Lady Witches lain ketika Lucy sedang berhalangan.

Lucy mendapatkan predikat honorable mention atas esai internasionalnya, dia pergi ke Jenewa selama beberapa hari untuk menerima penghargaan. Tidak ada yang lebih bahagia atas momen itu selain Jessie yang sumringah dengan air liur menetes, karena setelah pulang dari Jenewa, Lucy mentraktir mereka semua dengan steak termahal di kedai Steak~Steak.

Well, tidak semuanya. Minus Julie. Gadis itu tidak mendapat jatah steak—bahkan juga tidak kebagian take away—karena yang The Lady Witches lakukan justru memamerkan foto makan besar mereka pada Julie yang masih terbaring di rumah sakit, sambil memanas-manasi betapa lezatnya rasa steak termahal dengan saus barbeque siram spagheti jamur yang al dente. Cathy Sang Aktris bahkan memperagakan setiap detil kunyahan di mulutnya dengan sedramatis mungkin. Mereka berusaha agar Julie menderita dan tidak betah berlama-lama terbaring di rumah sakit, supaya gadis itu cepat sembuh berkat provokasi-provokasi mereka tentang betapa nikmatnya kehidupan di luar sana.

Yang gadis-gadis itu tidak tahu adalah—Richard diam-diam membelikan steak itu untuk Julie dan memberikannya pada Mrs.Light. Plus sebungkus cheese stick kesukaan Julie dan selembar kertas bercoret tulisan tangan cakar kucing dengan isi tulisan:

Julie.. Jangan bilang siapa-siapa.

Richard.

Kadang Richard memberikan coklat—yang langsung disita oleh Lily Light dalam sekejap—kadang Richard hanya diam saja dan memandangi Julie, tidak melakukan apa pun. Kedua sejoli yang telah saling menyatakan cinta ini, sama kikuknya seperti dua ekor ayam yang baru berkenalan.

Kehidupan di Nimberland langsung berubah setelah kabar jadiannya Julie-Richard terdengar di seluruh penjuru sekolah. Kabar itu menyebar dengan kecepatan cahaya, bahkan lebih cepat daripada penyebaran bakteri Yersinia pestis yang menyebabkan wabah hitam di Eropa pada abad 14. Bedanya, jika wabah hitam menyebabkan kematian dua pertiga penduduk Eropa pada masa itu, maka berita jadiannya Julie-Richard ini justru menyebabkan kematian dua pertiga penduduk Nimberland High School. Mati karena patah hati.

“Kau harus dengar ini,” kata seseorang, “Richard dan Julie adalah pasangan yang paling sempurna yang pernah ada. Mereka harus tetap bersama SELAMANYA.”

“Aku tak rela.”

“Tak ada yang bisa kita lakukan. Julie itu penyihir,” tambah yang lain. “Richard itu Harry Potter.”

Topik penyihir sedang hangat-hangatnya dibicarakan, mengingat Julie juga berasal dari geng penyihir ‘The Lady Witches’ dan Cathy pun sama, dan kedua gadis ini akhinya jatuh cinta pada orang yang sama. Tidak ada logika yang bisa menghubungkan kenapa Richard ujung-ujungnya malah disamakan dengan Harry Potter, tapi begitulah orang-orang Nimberland. Mereka semua bisa move on dengan cara yang mengesankan.

Well, tidak semua.

Setidaknya sebagian besar.

Anak laki-laki penggemar Julie, mereka move on secepat kilat. Begitu tahu bahwa The Unbeatable akhirnya benar-benar berhasil ditaklukkan hatinya oleh Sang Pangeran Yang Bercahaya, tidak perlu ada pertanyaan lagi. Semua mengangkat topi, menaruh hormat pada Richard. Seluruh sisa kepercayaan diri mereka berguguran. Richard adalah sosok ideal jenius dan tampan yang tak mungkin bisa dikalahkan.

Mereka akhirnya hanya bisa berharap semoga pasangan Richard-Julie awet selama-lamanya. Doa ini mereka panjatkan secara sungguh-sungguh, semata-mata agar Richard tidak merebut gadis-gadis lain lagi di Nimberland yang sudah menjadi prospek mereka sejak berbulan-bulan. Kalau Richard sudah turun tangan, tak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah terhadap nasib. Mereka sadar, hanya masalah waktu saja sampai akhirnya semua gadis impian di sekolah direbut oleh rival terberat yang pernah ada sepanjang hidup mereka ini. Lebih baik menerima kenyataan bahwa Richard sekarang sudah diamankan, di tangan Julie.

Penerimaan yang tersendat-sendat justru datang dari kubu fans Richard. Banyak gadis yang sungguh-sungguh patah hati dan menjadi gila—epidemi ini sudah dimulai sejak mereka mendengar Richard menyatakan cinta pada Julie waktu itu. Apalagi sejak mendengar Julie-Richard resmi jadian di rumah sakit. Mereka benar-benar memasukkan kejadian itu dalam hati.

Mayoritas dari mereka yang tidak terima, membentuk gerakan BJR : Bubarkan Julie-Richard, sebuah komunitas gelap dengan misi mengumpulkan semua orang yang tidak suka dengan jadiannya Julie-Richard. Aktivitas mereka adalah menjelek-jelekkan Julie, dengan segala macam cara yang mungkin dijalankan. Topik soal Julie yang jelek standar dan bodoh selalu jadi bahan favorit mereka.

Tahukah siapa orang yang paling pertama menentang keberadaan komunitas ini?

CATHY.

Komunitas ini langsung bubar dalam sekejap saat Cathy datang melabrak dan mengobrak-abrik ruangan mereka.

Sejak kecelakaan Julie, Cathy yang dramatis itu, berubah jadi jauh semakin protektif dan agresif terhadap siapa pun yang menyerang sahabat-sahabatnya. Dia langsung membantai siapa saja yang menjelek-jelekkan Julie, tanpa ampun, termasuk orang-orang yang mulai mengait-ngaitkan jadiannya Julie-Richard dengan putusnya Cathy-Richard di hubungannya yang terdahulu. Gigi taringnya akan menancap erat di leher orang-orang yang menentang apa pun yang dikatakannya. Teriakannya menggelegar bagaikan auman singa marah yang mengamuk di tengah-tengah halilintar.

Si Ratu Drama yang manja ini langsung berubah wujud menjadi monster Yeti dengan kilatan mata ganas yang langsung menerkam tanpa ampun siapa pun yang mengganggu hubungan Julie dan Richard. Dengan akting dramatis berkualitas nomor satu, Cathy dengan sangat cemerlang memerankan seperti apa kelihatannya anak hasil perkawinan silang antara Voldemort dengan Helena Markos.

Akhirnya Cathy menggunakan suara menggelegar khas iblisnya itu pada kesempatan yang tepat. Teriakan marahnya yang melengking amat mengerikan itu—adalah mimpi buruk semua orang.

“COBA LAGI!” kata Cathy suatu ketika, membentak seorang teman sekelasnya yang mengatai Julie jelek. “COBA LAGI KAU UCAPKAN ITU DI DEPAN KUPINGKU!”

Si anak yang dimarahi, tidak masuk sekolah keesokan harinya. Wajah jutek ditekuk Cathy—yang dulu biasanya hanya dinikmati gadis-gadis The Lady Witches saat Cathy ngambek—sekarang jadi konsumsi umum bagi orang-orang di Nimberland yang berkata-kata jahat—bahkan lebih parah, Cathy mulai bisa memberikan tatapan sinis yang menyakitkan. Tidak ada seorang pun lagi yang berani mengatakan hal buruk apa pun tentang Julie di depan Cathy sejak saat itu.

Perubahan sifat Cathy yang luar biasa ini, menjadi awal yang baru dari hubungan persahabatan di kelompok mereka. Cathy masih menjadi gadis yang manja, histeris, dan menyebalkan seperti biasanya, tapi rasa sayangnya pada teman-temannya meningkat beratus-ratus kali lipat daripada sebelumnya. Ia tidak mengambek sesering dulu, lebih terlihat dewasa, dan sifat overprotektifnya itu sudah ditempatkan pada posisi yang tepat. Sekarang, geng The Lady Witches seperti punya tukang pukul pribadi. Julie bahkan menjodoh-jodohkan Cathy dengan Mr.Bouncer, yang ditolak mentah-mentah oleh Cathy pada kesempatan apa pun.

Berita buruknya, Kayla putus dari Steve.

Tepat seperti perkiraan Cathy, Steve ternyata memang tidak pernah menginginkan hubungan yang serius. Setelah digantung selama berbulan-bulan, Kayla akhirnya menemui Steve dan minta kejelasan—berdasarkan saran dari Cathy. Orangtuanya menyuruhnya untuk lebih tekun belajar untuk persiapan SAT, dan setelah ujian kelulusan berakhir, Steve mengatakan pada Kayla kalau ia akan kuliah di luar kota. Seluruh keluarganya juga akan pindah, tidak akan kembali lagi ke kota Eastcult.

Mereka akhirnya putus, bahkan sebelum dimulai sama sekali.

Tidak ada yang menginginkan akhir kisah cinta yang tragis seperti ini. Tapi setelah ditambah bumbu penyedap dan aksi-aksi dramatis oleh Cathy Pierre di setiap jam makan siang The Lady Witches yang ramai, Kayla tidak lagi bisa menangis. Suasana obrolannya tidak pernah melankolis, justru membuat kesal.

Dan saat Kayla menceritakan kisahnya ini pada Julie di rumah sakit, gadis bermata hijau itu berkata, “Sepuluh tahun lagi.”

“Apa?” tanya Kayla.

“Jodohmu baru lahir sepuluh tahun lagi, Kay.”

Baru kali itu Kayla melempari Julie dengan brutal, walaupun gadis itu berteriak kesakitan di atas ranjang rumah sakit, sampai-sampai Jessie harus turun tangan menghentikannya.

Pasangan Nick dan Jessie masih berpacaran. Malah mereka semakin kompak daripada sebelumnya. Sejak tidak ada Julie di kelompok mereka, Nick mulai menjadi pengganti Julie. Berdua dengan Jessie, mereka makin sering membuat Cathy ngamuk-ngamuk di jam makan siang kafetaria. Serangan bulu hidung selalu jadi andalan Nick, walaupun sekarang dia mencoba belajar trik-trik lain juga, misalnya seperti campuran tomat dan mayonaise. Jessie yang mengajarkannya. Tapi semua orang setuju, untuk tingkah-tingkah konyol yang orisinal, Nick masih harus banyak belajar pada Julie. Gadis itu terlahir dengan bakat alami menjadi orang konyol, sepanjang hidupnya.

Terinspirasi dari Lucy yang berprestasi, Cassandra mulai membuat sketsa-sketsa pertamanya dan mengirimkannya ke majalah fashion, namun hasilnya ternyata tak begitu memuaskan, karena ternyata dia sendiri sebenarnya tidak begitu jago menggambar. Cassandra sangat pintar memadumadankan pakaian, tapi kegagalannya dalam kompetisi desain fashion ini lantas membuatnya berpikir ulang apakah ia memang bisa menjadi seorang fashion designer. Gadis-gadis The Lady Witches terus mendukungnya untuk mencoba lagi, tapi tidak seperti Lucy yang gigih, ternyata Cassandra langsung menyerah. Ia pun beralih ke klub Drama, menghabiskan waktunya dengan sungguh-sungguh berlatih di Klub Drama lagi.

Cathy juga. Sejak pelatih mereka diganti dengan pelatih yang baru—karena pelatih yang lama sudah pensiun, kedua gadis itu tiba-tiba jadi sangat rajin datang ke kegiatan klub, tidak lagi menjalani klub itu setengah-setengah. Apalagi pelatih baru Klub Drama mereka lumayan tampan, seorang mahasiswa magang berusia dua puluhan, berambut hitam bermata biru dan berjambul keriting ala Superman. Kata Cassandra, tipikal cowok idamannya. Kata Cathy, mirip Elvis Presley campur Richard sedikit.

Kesibukan Cathy dan Cassandra dalam mendekati pelatih Klub Drama tampan itu pun menjadi topik pembicaraan favorit mereka sepanjang jam makan siang di kafetaria. Kesibukan ini sedikit banyak mengobati kerinduan mereka mengobrol tentang ketampanan Richard, seperti yang mereka lakukan dulu, hanya saja dalam hal ini yang mereka bicarakan sekarang bukan Richard lagi, melainkan orang lain yang mirip Richard. Mirip sedikit. Nick bilang malah pelatih Klub Drama baru itu tidak ada mirip-miripnya dengan Richard sama sekali. Julie tidak memberi komentar apa-apa tentang itu.

Sejak Julie sakit, Richard selalu datang ke rumah sakit, hampir setiap sore setelah pulang sekolah. Mereka tak banyak berbicara, hanya saling menatap satu sama lain dan tersenyum. Kebanyakan isi percakapan didominasi oleh Lily yang sering meledek mereka berdua. Atau The Lady Witches yang kebetulan berkunjung, Richard hanya tersenyum mendengarkan mereka dan Julie. Atau menanggapi sesekali. Richard justru lebih dekat dengan Ethan, ayah Julie, yang beberapa kali sempat bertemu dengannya di rumah sakit, saat Ethan kebetulan tidak sedang bertugas di luar kota. Mereka memiliki beberapa kesamaan yang cukup signifikan, misalnya sifat ramah, lembut, dan penyabar, serta cara bicara yang cenderung lebih tertata—walaupun Richard sangat irit bicara.

Lily sampai menjuluki Richard sebagai “Anakmu Yang Hilang,” setiap kali Ethan bertanya tentang kabar Richard.

Gaya berpacarannya Julie dan Richard, selalu menjadi misteri bagi teman-temannya. Richard yang pendiam, dan Julie yang luar biasa cuek,  kadang-kadang teman-teman mereka berpikir kalau kedua sejoli ini hanya berbicara dengan menggunakan bahasa telepati. Mereka jarang sekali hanya berdua saja. Richard tidak pernah nyaman memulai percakapan jika ada orang lain di dekatnya dengan Julie. Apalagi Julie. Gadis itu masih merasakan serangan jantung kalau gadis-gadis The Lady Witches mulai menggodanya dengan Richard. Bibirnya langsung membeku seperti es, kalau akhirnya mereka benar-benar sengaja ditinggal berdua saja, supaya saling mengobrol satu sama lain.

Kata Kayla, ini hanya masalah waktu saja. Setelah Julie masuk sekolah lagi, Richard dan Julie nanti juga akan mulai terbiasa dengan status berpacaran mereka, yang selama ini selalu membuat mereka berdua salah tingkah.

Mereka akan memulai babak baru dalam hidup mereka, yang tidak akan disangka-sangka seperti apa bentuknya.

 

***

24 – Selamanya

Comments 39 Standar

Hal yang menarik setelah kepergian sementara Julie dari Nimber adalah bagaimana cara Richard menangani masalah Emma dengan sangat baik. Richard tidak banyak berbicara pada siapa pun tentang rencana-rencananya menaklukkan Emma—bahkan tidak pada Nick sekali pun—namun perlahan dan pasti, kejeniusan anak laki-laki itu mulai menunjukkan hasil yang membuat mulut menganga.

Siapa yang menyangka kalau geng Emma segera runtuh setelah Richard mulai menurunkan pion-pion pertamanya?

Sangat penting bagi Richard untuk membatasi jumlah orang yang mengetahui apa yang sedang ia lakukan. Satu-satunya orang kepercayaannya adalah Jeremiah Hunt, sang ketua klub koran sekolah—partner in crime Richard dalam rencana kejahatan menjatuhkan Emma, khususnya karena ia juga tidak punya banyak pilihan. Posisi Jerry yang vital di media massa sekolah adalah kunci dari strategi serangan terhadap Emma Huygen.

Selama enam minggu setelah kecelakaan Julie, Richard dan Jerry mulai menjalankan aksi yang hanya diketahui mereka berdua. Richard menyiapkan plot yang kemudian ditulis oleh Jerry dalam bentuk fiksi. Sesuai pengarahan Richard, cerita ini selanjutnya terbit sebagai serial bersambung mingguan di koran sekolah.

Cerita fiksi tentang seorang detektif yang melakukan penyelidikan hilangnya seorang gadis di gudang belakang sekolah—adalah ide yang brilian. Dengan permainan kata yang pintar, Richard dan Jerry mengarahkan para pembaca untuk memecahkan sendiri kasus itu. Penyelidikan demi penyelidikan yang dilakukan perlahan-lahan mulai membuka misteri di balik menghilangnya gadis itu, tentang penyiksaan di gudang belakang sekolah, dengan detail yang hampir sama seperti yang pernah diceritakan Ruth pada Richard tentang kejahatan Emma terhadap para junior kelas sepuluh dan sebelas.

Cerita fiksi karangan anonim ini dengan segera melejit seperti roket setelah diterbitkan di minggu pertama. Popularitas koran sekolah langsung meningkat drastis, bahkan membuat orang yang jarang membaca koran sekolah berubah menjadi hippie penggila cerita misteri. Begitu banyaknya kesamaan antara Nimberland dengan sekolah fiktif yang ada di cerita ini membuat semua orang di Nimber tergila-gila setengah mati pada cerita ini. Tidak hanya dari kalangan murid, para guru pun saling membicarakan cerita fiktif ini dan beberapa guru yang nyentrik ikut membahas pemecahan misterinya di dalam kelas.

Lebih dari itu, ada satu sentuhan lagi yang selalu menjadi signature bagi penulis cerita fiksi ini di setiap minggunya. Maksud tersembunyi yang sebenarnya.

Sebuah gambar ilustrasi cerita. Foto blur yang diambil dari screenshot video penyiksaan Tania Lawless dari Ruth. Foto itu langsung populer dalam sekejap.

Orang-orang awalnya mengira kalau itu adalah gambar peragaan, karena diambil tepat pada bingkai waktu yang sempurna, saat wajah semua orang membelakangi kamera. Mereka mulai ramai mendatangi lokasi tempat penyiksaan yang biasanya digunakan Emma dan teman-temannya—gudang belakang sekolah Nimberland—yang detailnya sangat mirip dengan cerita fiksi di koran sekolah itu. Beberapa orang mulai merekonstruksi kejadian di cerita fiksi itu, seolah-olah memang benar-benar terjadi penyiksaan murid Nimberland di gudang belakang sekolah. Mereka menerka-nerka siapa saja yang ada di foto itu.

Jackpot!

Sesuai perkiraan Richard, kelompok pengikut Emma langsung kebakaran jenggot. Emma apalagi. Pelan-pelan, power Emma yang dulu membuat pengikut-pengikutnya tunduk, dikalahkan oleh teror takut dikeluarkan dari sekolah. Takut ketahuan. Takut dianggap terlibat dengan Emma.

Cerita misteri yang ditulis Richard dan Jerry di minggu berikutnya mulai mengarahkan pembaca untuk mencurigai bintang sekolah sebagai tersangka, dengan deskripsi yang sama seperti Emma. Timing yang tepat untuk membuat orang-orang berspekulasi apakah cerita fiksi ini benar-benar terjadi di dunia nyata, di sekolah mereka. Orang-orang Nimber yang senang bergosip mulai membuat spekulasi-spekulasi. Gosip-gosip lama tentang kejahatan Emma mulai bangkit lagi.

Tujuh atau delapan kali, Emma melakukan serangan balasan. Ia sempat menyerang Jerry—sebagai ghostwriter dari cerita fiksi tersebut, tapi tak berhasil mendapatkan apa-apa, tak pernah tahu video itu berasal dari mana, bahkan tidak tahu tentang peran Richard di sana. Itu karena Richard telah menyiapkan petunjuk-petunjuk palsu dengan sangat rapi. Richard selalu menekankan pada Jerry saat mereka berdiskusi, serangan ini harus sangat halus dan tidak terdeteksi. Seperti yang dikatakan Richard pada Cathy di rumah sakit waktu itu, ini adalah permainan strategi untuk menunjukkan siapa yang paling pintar. Dan anak laki-laki ini berkata pada dirinya sendiri, bahwa demi janjinya pada Julie, ia harus lebih pintar daripada Emma.

Langkah terakhir, Richard mengirimkan video penyiksaan yang dimilikinya dari Ruth ke e-mail masing-masing pengikut Emma, dari alamat pengiriman yang tidak bisa dilacak—ia sudah meminta tolong sepupunya dari Harvard untuk memastikan hal ini. Sedikit ancaman untuk mempertegas posisinya sebagai orang yang bisa kapan pun melaporkan mereka ke kepala sekolah. Selanjutnya, anak laki-laki itu tinggal membiarkan teror psikologis memainkan efek domino dalam strategi yang telah diaturnya.

Dalam waktu empat minggu, Emma kehilangan seluruh pengikut setianya. Semuanya ketakutan setengah mati.

Rencana Richard berjalan lancar.

Emma tidak bisa lagi bertindak terlalu agresif. Dia menjadi lebih tenang dan tidak terdeteksi daripada sebelumnya. Dia sempat mengganggu Cathy dan teman-temannya, tapi apa yang bisa dia lakukan di bawah pengawasan ketat seluruh penghuni Nimberland? Dia harus menghindari spekulasi—memang sebaiknya begitu. Dalam keadaan genting seperti sekarang, dengan kecurigaan mengarah kepada dirinya, dan tanpa bantuan army sama sekali, ia terpaksa berhenti mencari jawaban. Akhirnya sang Ratu Sekolah itu menyerah, lebih berfokus pada pendidikannya daripada menantang sang anonim yang mengancam keberadaannya di sekolah ini. Beasiswanya pasti terlalu berharga untuk dipertaruhkan.

Dengan menghilangnya Emma dari peredaran, Richard pikir sudah tidak lagi perlu meneruskan serangan ini. Chapter terakhir dari cerita misteri yang akan dipublikasikan di koran sekolah diserahkannya pada Jerry hari ini untuk diselesaikan minggu depan.

“Jadi, ini adalah akhirnya,” kata Jerry pada anak laki-laki bermata biru yang berada di hadapannya. “Akhir dari perjuangan kita?”

Richard mengangguk.

“Siapa pelakunya?” Jerry meracau.

“Sang korban sendiri. Dia memanipulasi kejahatan atas dirinya sendiri,” jawab Richard. “Mungkin kau bisa menebaknya sejak cerita sebelumnya. Nanti kuharap kau bisa menambahkan sedikit drama untuk motifnya, karena—kau tahu—aku tak bisa mengarang drama.”

“Sang korban?”

Jerry menelan ludah, karena tebakannya salah, tapi tidak akan membiarkan Richard tahu soal itu. Ia membuka dua helai kertas yang berisi kerangka tulisan dan ide-ide Richard tentang akhir dari cerita misteri itu. Ia membacanya sekilas, tertegun pada beberapa poin yang menarik, lalu tertawa tidak percaya.

Ia terlihat sangat puas dengan apa yang baru dibacanya.

“Ms.Taylor sangat suka tulisanmu ini. Berkali-kali dia membahasnya di pertemuan mingguan dengan ketua klub ekstrakurikuler,” kata Jerry.

“Kau yang menulisnya, Jerry. Dan kau melakukannya dengan sangat baik,” kata Richard sopan.

Jerry mendecak.

“Memang tulisanku, tapi ini kan ceritamu. Hanya kita berdua yang tahu,” kata Jerry. “Kau sangat berbakat dalam hal ini. Tidakkah kau tertarik untuk membuat versi sekuelnya? Atau membuat cerita misteri lain untuk koran sekolah? Aku dengan senang hati akan membantu. Kau membuat klub koran sekolah mendapat sorotan besar selama hampir dua bulan terakhir ini. Aku berhutang banyak padamu. Guru-guru bahkan menerima proposal Majalah Sekolahku.”

Richard menggeleng pelan. “Tidak. Kau tahu alasanku, Jerry. Dan sebenarnya aku yang berutang padamu.”

Jerry mengerti apa maksudnya.

“Baiklah! Akhir dari kerajaan besar Emma Huygen yang diagung-agungkan. Seandainya saja mereka tahu apa yang kau lakukan. Kau—orang yang mengerikan, Richard. Kau menghancurkan orang yang paling kuat di Nimber dalam hitungan minggu. Sekarang dia benar-benar berusaha tidak menarik perhatian. Dia hanya bisa menunggu waktu sampai akhir masa pendidikannya di Nimber, mungkin untuk keluar dari kecurigaan atas kegiatan ilegalnya di sekolah. Dan kau melakukannya bahkan tanpa menunjukkannya sama sekali pada orang-orang. Aku benci mengatakan ini, tapi kau brilian!”

“Aku selalu merasa beruntung menemukan Ruth,” kata Richard pada Jerry. “Tanpa gadis itu, tanpa video ini, rencana ini tidak akan pernah ada.”

“Dan hanya orang sepertimu saja yang bisa melakukan rencana ini, Richard. Barang bukti seperti apa pun tidak akan pernah berguna. Tidak ada yang bisa melawan Emma. Kau memang gila.” Jerry menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpatik. “Dan aku—sangat senang terlibat dalam kegilaan ini. Kau adalah narasumber favoritku. Boleh aku bertanya sesuatu?”

Richard tersenyum tipis.

“Silakan.”

“Bagaimana caramu menemukan Ruth? Tanpa ketahuan?”

“Hanya bertanya,” kata Richard.

“Bagaimana caramu menyusun semua skenario ini, membuat semuanya berjalan sendiri yang bahkan kau sendiri tidak perlu turun tangan?”

“Seperti bermain catur,” kata Richard. “Kau hanya perlu memprediksi gerakan lawanmu.”

“Sok keren,” kata Jerry.

Richard membalas sindiran itu.

“Sekarang boleh aku yang bertanya padamu?” kata Richard. Jerry mengangguk cepat, tak mencurigai apa-apa. “Kenapa kau mau membantuku, Jerry? Kenapa kau mempercayaiku? Kau bisa saja kehilangan jabatanmu jika rencanaku gagal dan Emma berhasil mengalahkan kita.”

“Mungkin karena kau adalah rekan kerja paling mengagumkan di dunia ini? Narasumber favoritku?” kata Jerry dengan nada politis.

“Ini ironis, sebab kau tidak suka denganku saat pertama kali kita bertemu,” kata Richard, “—karena aku tahu kau menyukai Julie.”

Senyuman Jerry langsung berubah masam. Serangan itu tepat kena ke jantungnya.

“Apa?”

“Dan aku tahu kalau kau tidak bisa mengatakan itu padanya, Jerry.” Richard menajamkan intonasi suaranya. “Tapi tidak berarti aku akan membiarkan Julie jatuh ke tanganmu.”

Jerry tersenyum. “Tidak masalah, tidak masalah.” Ia mengayunkan tangannya. “Asalkan kau mau menulis cerita-cerita fiksi berikutnya denganku untuk proyek Majalah Sekolah, aku akan merelakan Julie untukmu.”

Richard bergeming.

“Kau tahu, Richard?” kata Jerry sekali lagi. “Kenapa kau tidak bergabung saja dengan klub koran sekolah? Aku akan langsung mengangkatmu jadi wakilku. Masa depan karirmu akan sangat gemilang. Bersama-sama Julie, kita bisa membawa klub sekolah ke puncak kejayaan di Nimberland. Kita akan menjadi klub ekstrakurikuler terbaik di kota Eastcult. Demi masa depan kita semua. Bagaimana?”

Richard tidak menjawab. Ia tersenyum saja. Ia tahu anak laki-laki ini tidak akan berhenti mengganggunya dengan penawaran itu. Tapi setidaknya ia telah menyelesaikan tanggung jawabnya dengan Julie dan Cathy.

“Terima kasih, Jerry. Sampai bertemu lagi.”

Pengumuman Launching Novel “Eternal Flame” & “Yesterday In Bandung” + KUIS dan LOMBA

Comments 47 Standar

launching-yesterdayinbandung (1)

Halo Teman-teman! 😀

Setelah muncul di toko buku sejak tanggal 30 November 2015 yang lalu, novel kolaborasi Eternal Flame yang kutulis dengan empat orang penulis Elex lainnya akhirnya melakukan launching resmi di Gramedia Matraman, tanggal 14 Februari 2016.

Tak hanya itu, novel ini launching bersamaan dengan saudara kandungnya, yaitu novel kolaborasi “Yesterday in Bandung” yang juga merupakan pemenang outline novel terbaik dari workshop “Berbagi Cinta Lewat Kata” yang diadakan oleh penerbit Elex Media setahun yang lalu, tepat tanggal 14 Februari 2016.

Yup! Betul sekali. Tepat setahun yang lalu.

Jadi acara launching ini juga merupakan anniversary lahirnya penulisan novel kolaborasi, untuk itu diadakan talkshow yang akan membahas pengalaman menulis novel kolaborasi dan bagaimana prosedur penulisan buku hingga penerbitan di Elex Media. Tak lupa pula di acara ini hadir satu bintang tamu, yaitu Jenny Thalia Faurine, penulis novel best seller #1 di Elex Media (penulis novel “Wedding Rush”). Jenny hadir untuk memberikan gambaran perbandingan antara menulis novel solo dengan novel kolaborasi. Pokoknya, acara ini bakal seru dan penuh ilmu banget deh! 😀

Kalau kalian tertarik ikut, silakan mendaftar di alamat : kolaborasielex@gmail.com, tulis NAMA, DOMISILI, E-MAIL, NO HP.

Di acara ini, ke-SEPULUH penulis yang berasal dari berbagai kota ini akan hadir semuanya. Iya, semuanya! Lengkap. Jadi buat kalian yang udah punya novel Eternal Flame dan/atau novel Yesterday in Bandung, jangan lupa datang ke acara ini yaa, di hari Valentine lho. Kalian jadi bisa hunting tanda tangan semua penulis lengkap. 😀

Sampai ketemu di Gramedia Matraman! 😉


 

LOMBA MENULIS SURAT CINTA

 

Lomba ini diadakan oleh Elex Media, berhadiah PAKET BUKU untuk TIGA PEMENANG.

Lomba ini adanya di Portal ELEX MEDIA –> KLIK DI SINI

Jangan lupa registrasi/login terlebih dulu di portal Elex yaa.


 

KUIS PERSONAL

Nah kalo kuis ini aku adakan sendiri. Hadiahnya juga dariku, yang bakal kuserahkan secara langsung ke pemenang di akhir acara talkshow dan launching novel tanggal 14 Februari besok. (Buat pemenang yang ada di luar kota/berhalangan hadir, kukirim free ongkir)

Batas ditutup kuisnya : TANGGAL 11 FEBRUARI 2016, JAM 23.59 WIB

Hadiahnya: (dua novel dan 1 kalender meja)

2016-02-07 20.09.54

 

Caranya gampang.

Kalian cukup posting di kolom komentar tentang kisah/pengalaman lucu kalian, boleh ngarang, boleh beneran, yang ceritanya paling kocak dan paling bikin aku ngakak, aku kasih tiga-tiganya! Iya! Tiga-tiganya! Gampang kan….? 😛

Kalian boleh posting sebanyak-banyaknya. Pokoknya, bikin aku senang ya. Hahaha.

 

Daan… Kuisnya dimulai dari SEKARANG! Selamat posting! 😉

23 – Pengakuan (5)

Comments 59 Standar

Akhirnya.

The Lady Witches membuka pintu ruang inap 308. Mereka harus menunggu dua hari untuk bisa memberikan kunjungan, berdasarkan rekomendasi dokter dan Lily Light sendiri, meskipun Julie telah sadarkan diri kemarin. Jessie, Kayla, Cathy, Lucy, Cassandra, mereka berlima masuk ke ruangan itu, sementara Richard–Richard tidak berani masuk. Nick ikut menunggu di luar kamar untuk menemani Richard.

Jessie menyapa. “Julie.”

Gadis itu terlihat sangat lemah dan wajahnya pucat. Tubuhnya terkulai tak bergerak, berbalut gips di kaki kanan dan lingkaran perban di kepalanya. Siku tangannya penuh luka lecet. Tangan kanannya dipasangi infus, sementara pergelangan tangan kirinya yang mengalami luka bakar itu telah dibalut oleh perban putih.

“Bagaimana keadaanmu?” Kayla berkata pelan-pelan, tampak khawatir.

“Dia baik-baik saja, anak-anak,” kata Mrs. Light. “Hanya tiga rusuk patah, kaki kanannya patah, dan sedikit retak di kepala. Dia akan baik-baik saja.”

“Aku,” Cathy berusaha sekuat tenaga mengucapkan ini sebelum tangisnya pecah. “Aku,” ia menarik napas dalam-dalam. Dadanya naik turun sangat cepat. Napasnya pendek-pendek.

Cathy mengeraskan rahangnya, meskipun bibirnya mengerucut dan mengeriting. Keberaniannya muncul bersamaan dengan langkah kakinya bergerak maju mendekat ke arah Julie.

“Aku–minta maaf, Julie. Aku sudah bersikap terlalu jahat padamu. Aku tahu aku tak pantas mendapatkan maaf darimu, tapi.. maafkan aku,” Cathy menunduk. “Selama ini aku sudah jadi orang yang sangat egois. Aku sangat egois padamu, Julie. Aku tahu. Aku cemburu padamu, cemburu pada semua yang kau miliki. Tanpa menyadari bahwa kau adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Bahkan kau rela mengorbankan nyawamu untuk menyelamatkanku.”

Cathy memandangi Julie dengan bibir bergetar hebat. Kedua bola matanya sudah panas, dadanya pun terasa panas dan sesak, emosinya mulai tidak terkontrol.

“Terima kasih karena telah menolongku dari Emma, terima kasih telah menyelamatkanku dari kecelakaan ini. Terima kasih atas semua kebaikan yang berikan padaku, Julie. Terima kasih banyak,” suara Cathy kembali bergetar. “Kumohon maafkanlah aku, orang yang sangat hina ini, dan apa pun yang kau inginkan, Julie, apa pun, katakanlah. Aku akan melakukan semuanya untukmu. Aku akan menebus semua kesalahanku ini. Tamparlah aku. Hukumlah aku, Julie. Aku pantas mendapatkan semua itu. Aku,” Cathy menarik napas dalam-dalam, “ingin menjadi sahabatmu lagi.”

Julie menatap dengan wajah kosong.

“Kau siapa?”

Mereka tercengang.

Jessie menatap sangsi. “Tidak lucu, Julie.”

Cathy mundur, sementara gadis-gadis yang lain bergerak maju menghampirinya.

“Siapa orang-orang ini, Mom?” kata Julie dengan suara lemah. Lily tersenyum, “Mereka teman-temanmu, Sayang.”

“Mrs.Light? Apa yang terjadi?” tanya Kayla dengan panik.

“Gegar otak ringan, dokter bilang benturan di kepalanya membuat ia amnesia sebagian,” kata Lily. “Maafkan aku, anak-anak, tapi sepertinya dia tidak bisa mengingat kalian. Ada bagian tertentu dari alam bawah sadarnya yang tidak ingin mengingat kalian.”

Jessie tertawa skeptis. “Julie, tidak lucu.”

Gadis itu tidak merespon. Pandangan matanya kembali kosong, lalu ia menggeser pandangannya ke arah jendela. Tubuhnya masih sama lemahnya seperti saat mereka membawanya ke rumah sakit.

“Bagaimana ini?”

Cassandra dan Lucy saling berpandangan, tidak percaya apa yang mereka saksikan. Gadis-gadis itu sekarang seperti kebakaran jenggot. Cassandra menatap Kayla dengan panik, setengah berbisik. “Kayla.”

Cathy mulai beraksi dramatis. Air mata yang ditahannya dari tadi, tiba-tiba tumpah membabi buta. Tubuhnya berguncang dan hampir terjatuh, untung saja Kayla segera menangkapnya. Gadis itu sekarang menangis sejadi-jadinya. Gadis-gadis yang lain ikut merangkulnya, mulai terlarut dalam kesedihan.

Jessie masih menatap Julie.

Julie terlihat pucat, tidak sedikit pun menghiraukan keberadaan mereka. Matanya yang sayu mulai menutup perlahan-lahan. Jessie menatap perban yang terbalut di kepalanya dan bertanya pada dirinya sendiri, benarkah sahabatnya ini terkena amnesia? Benarkah ia tidak ingat siapa mereka?

Julie mulai tertidur. Jesie masih menatapnya dengan seksama. Goresan luka lecet panjang di pipi kiri gadis itu, akibat bergesekan dengan aspal, membuat Jessie mulai mempercayai apa yang dia lihat. Sampai akhirnya seutas senyum tipis yang ditahan bertengger di bibir Julie.

“ANAK SAPI!” Jessie mengamuk. “Jangan senyum-senyum! Aku tahu kau pura-pura! Kurang ajar!”

Tawa Julie meledak. Gadis itu tidak bisa menahannya lagi.

Jessie langsung mencubit kaki Julie, yang membuat gadis itu berteriak kesakitan. Gadis-gadis The Lady Witches yang lain terkejut. Lily ikut-ikutan tertawa.

“Mrs.Light!” gerutu Kayla.

“Kapan lagi aku punya kesempatan seperti ini,” kata Lily sambil cekikikan geli, “dari dulu aku ingin sekali mempraktekkan adegan amnesia seperti di telenovela. Julie, kau payah! Aku bisa berakting lebih bagus daripadamu.”

“Aku jenius, Mom. Akuilah itu.”

Julie tidak bisa berhenti tertawa. Kedua ibu dan anak ini, kelakuan mereka berdua sama saja.

Gadis-gadis itu mulai merengut, tapi tidak ada yang lebih kesal daripada Cathy. Cathy itu mengamuk lebih parah daripada Jessie. Air mata langsung dihapusnya cepat-cepat, suaranya menggeram rendah seperti singa marah. Sementara itu, Lucy dan Cassandra tidak bisa menahan senyum mereka.

“Julie, kau akan membayar semua ini,” kata Jessie.

“Kau ingin aku membayarnya dalam dolar–atau rupee, Jess?” Julie menggumam.

“SAPI!!”

Kalau saja anak itu tidak terbaring di sana, Jessie pasti sudah melempar kepalanya dengan sepatu.

Beberapa puluh detik kemudian, tawa Julie mulai mereda. Ia meringis kesakitan sambil memegang dadanya. “Akh, Mom, sakit.”

“Mom! Lakukan sesuatu! Aduh!”

Julie sekarang benar-benar terlihat menderita. Ia mengeluh kesakitan, tidak bisa lagi menikmati wajah murka Cathy, apalagi Jessie yang ingin menyiksanya habis-habisan.

Lily mendesah panjang. Tiga rusuk patah, wajar saja kalau salah satu di antara tulang rusuk itu melukainya lagi, kalau dia tertawa seberlebih-lebihan itu.

“Julie,” omel Lily. “Aku setuju dengan rencana amnesia ini asalkan kau bisa mengontrol ritme tertawamu, Julie. Kita sudah sepakat, kan?”

Julie mengerang frustasi.

Lily menekan tombol emergensi lalu berbicara dengan hati-hati pada gadis-gadis itu.

“Maaf anak-anak, sepertinya kalian harus keluar sekarang. Aku baru saja memanggil perawat. Dan kalau perawat menyeramkan itu melihat kalian, dia bisa memarahi kalian seperti aku kemarin,” kata Lily. “Cepat! Cepat, nanti kalian bisa masuk lagi kalau perawatnya sudah pergi. Sebelum itu, menjauhlah sejauh-jauhnya, agar dia tidak mencurigai aktivitas kita.”

Kayla mengangguk.

Jessie menolak pergi karena ia tidak akan membiarkan gadis menjengkelkan itu dan ibunya membodohi mereka sekali lagi. Cathy, lebih-lebih, seperti kucing basah yang siap menerkam. Lucy dan Cassandra saling berpandangan, tidak tahu siapa yang bisa mereka percaya.

“Kali ini dia tidak pura-pura,” kata Kayla, memberikan isyarat.

Gadis-gadis itu keluar dari ruangan, disambut oleh Nick dan Richard yang khawatir. Tak beberapa lama kemudian, dua orang perawat berlari tergesa-gesa dan memasuki ruangan itu. Kehadiran mereka dan keluarnya gadis-gadis itu membuat kedua anak laki-laki ini panik.

“Apa yang terjadi??” tanya Nick.

“Kau tidak akan percaya apa yang terjadi,” kata Cassandra.

“Aku sudah menangis habis-habisan untuknya, dan dia pura-pura amnesia. JULIE!” Suara Cathy melengking tinggi, terlihat murka.

“Sekarang dadanya kesakitan karena terlalu banyak tertawa,” sambung Lucy. “Itulah sebabnya Mrs.Light memanggil perawat.”

“Amnesia?”

Nick melongo. Sekejap kemudian, dia terbahak-bahak.

Jessie menggeram kesal, merasa dipermalukan. “Kita sudah khawatir setengah mati padanya, Nick.. tapi dia malah bermain-main. Tadinya kuharap benturan di kepalanya bisa membuatnya jadi lebih waras. Tapi sekarang dia ternyata masih sama gilanya. SAPI!! Akan kucincang dia habis-habisan.”

Kayla tersenyum simpul. “Lihatlah sisi baiknya, Teman-teman. Dia sudah kembali seperti semula.”

“Dan kalau dipikir-pikir, kejadian tadi lucu juga,” timpal Cassandra geli.

Jessie melotot. Meskipun dalam hati ia mengakui perkataan mereka ada benarnya, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Ia melirik ke arah Cathy, yang saat ini sedang sama-sama shock seperti dirinya. Dia bergumam ketus pada Cathy, “Sekarang aku paham kenapa kau benci sekali pada Julie, Cath. Anak itu memang kurang ajar.”

Gadis-gadis itu cekikikan.

Beberapa menit kemudian, dua perawat itu keluar dari kamar inap Julie. Mereka menekuk cemberut, sama persis seperti ekspresi wajah Jessie dan Cathy saat keluar dari ruangan itu tadi.

“Siapa yang telah membuatnya tertawa?” kata salah seorang dari mereka dengan kening mengkerut dan intonasi galak. “Kemarin juga seperti ini! Saat diberi peringatan, dia malah berkelakar kalau tertawa sangat baik untuk kesehatan. Kalau begini terus, bisa-bisa kunjungan tamu kami hentikan, khusus untuk pasien kamar 308!”

“Apakah dia baik-baik saja?” tanya Richard.

Pertanyaan dari Richard telah mengubah ekspresi kedua perawat itu. Kemarahan mereka langsung menguap, digantikan senyum ramah dan pipi yang bersemu malu-malu.

“Iya, dia baik-baik saja kok,” kata perawat yang satu lagi dengan nada lebih lembut. “Tulang rusuknya belum pulih benar. Jangan buat dia tertawa lagi, ya? Kalau patahan rusuknya terbuka lagi, nanti bisa melukai paru-parunya.”

“Apakah kami tidak boleh mengunjunginya?” kata Richard perlahan.

“Tidak, tidak! Tentu saja boleh! Hanya saja–seperti yang kami bilang tadi, kau harus hati-hati. Kau bisa datang ke sini setiap hari. Ruanganku–” perawat yang satu lagu menyenggolnya dengan keras, “eh–ruangan kami, ada di ujung sana. Kau boleh berkunjung lagi, ehm–aku bertugas jaga tiap hari Sabtu dan Minggu.”

“Baiklah. Terima kasih,” kata Richard sambil tersenyum.

Kedua perawat itu pergi meninggalkan mereka dengan seringai bahagia yang terbingkai lebar di wajah dan hati yang berbunga-bunga. Hanya satu kalimat sederhana saja dari Richard bisa menghindarkan mereka dari marabahaya. Nick menyaksikan kejadian itu sambil terkagum-kagum. “Luar biasa.”

Setelah perawat itu berlalu, gadis-gadis itu kembali bergemuruh. Sekarang Julie sudah sendirian lagi–berdua dengan Lily–tapi mereka masih berdebat tentang apa yang harus mereka lakukan setelah ini.

“Kita harus membalasnya,” kata Jessie pada Cathy.

“Tenang saja, aku akan membuat dia tidak berkutik,” kata Cathy sambil tersenyum penuh arti. Ia menarik tangan Richard lalu menyeretnya masuk ke dalam kamar itu. Richard terkejut dan mencoba untuk mengelak, tapi Cathy mendesis, “Kau sudah berjanji akan mengabulkan permintaanku, Richard.”

Lily menyambut kedatangan mereka berdua dengan sangat baik. Gadis tercantik teman Julie favoritnya dan seorang anak laki-laki yang sangat familiar di matanya. Anak laki-laki pembuat puisi koran sekolah, dia yang hanya diam saja menunggui Julie di luar sejak kemarin. “Oh. Hai, Ms.Pierre, dan ini–”

“Richard,” jawab Cathy. “Mrs.Light. Maaf aku–”

“Oh, silakan. Silakan. Aku hanya akan duduk manis dan menonton saja,” kata Lily dengan cepat, memberi isyarat kalau ia akan menutup mulutnya, seolah tahu apa yang akan Cathy katakan.

Lily lalu mengambil bangku, duduk dengan pose terbaik, sambil berkonsentrasi menikmati pertunjukan. “Anggap saja aku tidak ada di sini.”

Richard berdiri kaku seperti patung saat ia melihat Julie terbaring di atas tempat tidurnya saat itu. Mata birunya memandang mata hijau Julie yang melotot kaget. Pintu kesempatan itu akhirnya terbuka dan bertemulah mereka. Julie dan Richard, dua orang yang saling menghindar dan mengingkari perasaan mereka satu sama lain.

Julie hampir saja memuntahkan isi infusnya, kalau saja hal itu benar-benar bisa terjadi.

“Anggap saja aku sudah merestui kalian, dan karena Julie tadi sudah membuatku gusar, kurasa aku harus melakukan ini,” Cathy menarik tangan Richard dan mengarahkannya ke tangan Julie dengan perlahan, memastikan kalau tangan mereka berdua akhirnya saling bergenggaman.

“Richard, nyatakanlah perasaanmu sekarang,” kata Cathy dengan nada memaksa. Lima belas detik berlalu, masih tak sepatah kata pun keluar dari bibir anak laki-laki itu. Cathy bergumam protes. “RICHAARD.”

Jantung Richard berdegup sangat cepat. Tangan gadis itu terasa lembut dalam genggamannya. Napasnya panas dan berkejar-kejaran saat ia mengangkat kepalanya untuk memandang gadis itu.

“Julie,” suaranya serak, “aku–”

Sengatan listrik di tangan Julie membuat gadis itu kehilangan kendali atas kedua kakinya. Ia percaya bahwa kedua kakinya sudah mencair dan bermutasi menjadi lendir. Julie.. mungkin sudah tidak bisa menjadi manusia.

Je t’aime, Julie,” kata Richard akhirnya. Ia menggenggam tangan Julie lebih erat, dan sekarang memantapkan postur tubuhnya, menghadap ke arah Lily dengan sangat sopan. “Mrs.Light. Bolehkah aku meminta izinmu untuk membuat Julie menjadi kekasihku? Aku mencintainya dengan segenap jiwaku.”

Lily terkejut saat namanya dipanggil. Ia menyengir lebar. “Tentu saja.”

Cathy mendelik.

“Apa? Kenapa kau malah minta izin pada ibunya, Richard?! Ini memang romantis, tapi…. oh!!” Cathy tak kuasa mengendalikan gaya dramatisnya saat memperagakan hal ini. “Richard, katakan langsung pada Julie! Katakan JULIE, AKU MENCINTAIMU! MAUKAH KAU JADI PACARKU??”

“Karena dia tidak akan menjawabnya,” kata Richard lemah, mengingat penolakan Julie waktu itu.

“Mau,” jawab Julie cepat. Ia membuang mukanya pura-pura tidak melihat.

“Apa?” Richard tertegun.

“Aku mau.”

Kepala-kepala yang mengintip di sela pintu kamar yang setengah terbuka itu pun langsung meneriakkan suara, “YES!!”

23 – Pengakuan (4)

Comments 29 Standar

Mereka sudah menyendiri selama tiga menit, namun belum saling berbicara, seolah menikmati kesunyian yang panjang di malam itu. Angin malam yang dingin bertiup dengan kencang.

“Ini pertama kalinya kita berbicara lagi,” kata Cathy sambil tersenyum pahit.

Richard mengangguk.

“Aku menghindarimu, kau pun menghindariku. Seperti dua anak kecil yang lari dari masalah,” kata Richard.

Cathy tersenyum lagi. Lebih tepatnya, memaksa dirinya untuk tersenyum. Hatinya bergejolak begitu hebat saat berada di samping Richard lagi. Mata biru itu, mata biru yang sangat ia rindukan, kini memandangnya begitu dalam.

“Maafkan aku,” kata Richard. “Soal orangtuamu. Ayahmu. Aku tak tahu kalau ia meninggalkanmu. Dan aku melakukan kebodohan yang sama. Maafkan aku karena telah begitu menyakitimu, Cathy.”

Cathy menggeleng. Rasa rindunya pada Richard mulai menguasainya.

Cathy menyeka air matanya yang tidak tertahan lagi. Beberapa saat berikutnya, Cathy sudah tidak berbicara, namun menutup mukanya dan menangis tersedu-sedu.

“Bolehkah aku memelukmu? Cathy?” kata Richard. Cathy mengangguk terisak-isak. Tubuhnya berguncang saat Richard melingkarkan lengan di pundaknya.

Richard merangkul Cathy dengan hangat. Gadis itu kini menangis lebih keras. Richard menyentuhkan dagunya ke kepala Cathy dan mengusap rambutnya dengan lembut.

“Maafkan aku.”

Cathy masih menangis di pelukan Richard.

“Kau adalah semua yang kuinginkan, Richard. Khayalanku tentang mimpi yang sempurna. Hanya saja kau tidak mencintaiku. Kau—” suara Cathy bergetar hebat.

Tangisannya semakin kencang. Ia menangis begitu sedih seperti tidak pernah dilakukannya sebelum ini.

“Maafkan aku,” kata Richard.

“Kenapa kau tidak berkata apa-apa tadi?” tanya Cathy kemudian. “Kenapa kau hanya diam saja? Kenapa kau tidak membela dirimu sendiri di depan mereka?”

Richard menarik napas panjang.

“Aku tidak perlu menjelaskan apa-apa pada mereka,” kata Richard. “Lagipula apa yang dikatakan Kayla memang benar. Aku adalah anak laki-laki brengsek yang suka menyakiti hati wanita.”

“Itu tidak benar,” kata Cathy.

Richard mendesah pelan, menyiratkan luka di hatinya. Ia tidak meneruskan pernyataan itu lagi.

“Apakah aku boleh bertanya padamu?”

“Tanyakanlah,” kata Richard dengan nada terbuka. “Kau adalah pengecualian. Aku berhutang penjelasan padamu selama ini. Tanyakanlah apa pun yang ingin kau ketahui. Aku akan menjawabnya hanya padamu saja.”

Gadis itu sekarang sudah lebih tenang dan melepas pelukannya dari Richard.

“Apa benar Julie adalah cinta pertamamu?”

Richard terdiam sejenak.

“Tanyakan pertanyaan yang lain,” kata Richard sambil memalingkan muka, sedikit mengangkat bahunya. Ia melepas tangan Cathy dan mulai menghindari kontak mata dengan gadis itu. Postur tubuhnya dengan jelas mengindikasikan kalau ia menolak menjawab pertanyaan ini.

Cathy tetap bersikeras dengan pendiriannya.

“Itu pertanyaanku. Kau harus menjawabnya.”

“Aku tidak ingin menyakitimu lagi, Cathy,” kata Richard perlahan.

“Aku menginginkan ini!” Cathy menatapnya dengan sorot memohon yang tidak dapat dielakkan. “Kumohon jawablah! Berikan aku penjelasan yang kuinginkan.  Aku berjanji tidak akan marah. Aku ingin mengetahui jawabannya.”

Cathy bukan tipe gadis yang bisa dipuaskan dengan jawaban yang menggantung. Begitu ia menginginkan sesuatu, ia akan berusaha mendapatkannya, sampai ia merasa puas. Menyadari hal ini, Richard akhirnya mengubah pikirannya. Lagipula, ia memang sudah berniat ingin menyelesaikan ini dengan baik, mengakhiri masalahnya dengan Cathy.

“Baiklah. Iya.”

Richard menarik napas panjang, tidak berbicara lagi.

“Lebih panjang,” protes Cathy.

“Dia cinta pertamaku. Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Tidak, entahlah,” kata Richard, terpaksa bersuara lebih banyak. “Aku pernah menyukai anak perempuan, Cathy, tapi tidak pernah seperti yang kurasakan pada Julie. Rasanya benar-benar berbeda. Dia membuatku memikirkannya setiap hari, tapi aku takut padanya. Entahlah. Aku tak tahu kenapa. Aku sama sekali tidak bisa menebak isi pikirannya. Dia benar-benar aneh. Itu sebabnya aku takut.”

“Dan Nick juga benar… Aku tidak pernah harus mengejar anak perempuan. Maka dari itu, aku tidak berani mengejar Julie. Terlebih lagi, aku tidak mengerti kenapa dia selalu menjauhiku. Kadang-kadang dia terasa sangat dekat denganku, tapi kadang-kadang jarak kami terasa sangat jauh.. Dan dia tampaknya tak pernah peduli padaku. Apa pun yang dia lakukan, semuanya membingungkan.”

Cathy mengangguk, tersenyum pahit.

“Kenapa kau tidak langsung mendekatinya?”

“Sudah kucoba, tapi tidak pernah berhasil. Gadis itu selalu menghindar, atau mungkin hanya perasaanku,” kata Richard. “Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Aku tak mengerti.”

“Apa yang membuatmu menyukainya?” tanya Cathy tanpa berhenti. “Sejak kapan kau menyukainya?”

Richard mendesah pelan.

“Tidak apa, aku tidak akan marah,” kata Cathy menegaskan keputusannya.

“Aku suka semua hal tentangnya. Raut wajahnya dan tingkah laku uniknya. Aku suka melihat dia bergurau, tersenyum, tertawa. Dan saat dia datang ke Kelas Prancisku waktu itu,” kata Richard, “aku harus susah payah menyembunyikan rasa senangku. Akhirnya aku bisa berinteraksi dengannya. Aku mulai memikirkannya sejak saat itu. Aku berpikir keras bagaimana cara agar bisa mendekatinya.

“Lalu datanglah kesempatan itu, liputan kejuaraan Catur. Saat dia memintaku untuk menjadi narasumbernya, aku menyambut kesempatan itu dengan cepat. Aku tak pernah mendekati anak perempuan sebelumnya, jadi aku bingung bagaimana cara mendekati Julie. Terlebih lagi, gadis itu tidak seperti anak perempuan lainnya. Dia sangat lucu, tentu, tapi dia juga sangat lucu ke semua orang. Apakah dia menyukaiku? Aku tak merasa demikian. Julie tidak memberikan sinyal apa pun yang membuatku percaya diri. Dia sangat.. tidak terbaca. Dan aku selalu sulit menemuinya. Kenapa? Aku tak tahu. Mungkin dia menyukaiku? Tapi dia Sang Tak Tertaklukkan. Bagaimana mungkin dia menyukaiku? Semua sinyal yang dia berikan selalu negatif, aku lama-lama berpikir kalau sebenarnya dia tidak tertarik padaku sama sekali.”

Richard menggumam pelan.

“Dan terakhir, dia merobek puisiku.”

Cathy teringat akan puisi yang dulu sempat membuatnya bermasalah dengan Julie. Puisi yang fenomenal itu, ternyata memang puisi ungkapan cinta yang disampaikan Richard untuk Julie. Persis seperti kekhawatirannya di masa lalu, ternyata benar-benar terjadi.

Anak laki-laki itu tersenyum tipis.

“Aku marah karena aku tak bisa mengerti dia. Dan aku terlalu pengecut untuk menanyakannya secara langsung. Semua anak laki-laki yang pernah mendekatinya menyerah. Padahal mereka lebih sering bertemu dan berinteraksi dengannya. Apalagi aku? Julie jelas-jelas tak menyukaiku. Dia selalu terlihat tidak nyaman ketika melihatku. Dia menjauh. Dia pasti tidak menyukaiku.”

“Dan sekarang, kau akhirnya menyerah?” tanya Cathy. Richard mengangguk.

Cathy menggigit bibirnya. Susah payah ia mencoba tersenyum, dengan mengulum bibirnya sedikit, untuk terlihat tegar dari penampilannya. Ia sama sekali tidak mau terlihat lemah lagi di depan anak laki-laki yang sangat disukainya ini.

Cathy akhirnya menanyakan pertanyaan yang tersulit. “Kenapa kau berpacaran denganku? Apakah bagimu aku–” Cathy berusaha menahan sesak di dadanya. “—adalah pelarian?”

Richard tersenyum.

“Karena aku juga menyukaimu,” kata Richard.

Napas Cathy berhenti seketika.

“Apa?

“Jiwamu yang selalu bersemangat dan memeriahkan suasana, aku suka gadis yang seperti itu. Wajahmu yang sangat cantik seperti malaikat hanyalah salah satu alasan lainnya kenapa aku memilihmu,” kata Richard. “Saat aku berkata ingin melupakan Julie dan memilihmu, aku memang ingin melakukan itu. Aku memang sungguh-sungguh ingin membahagiakanmu.”

“Kau berbohong,” kata Cathy dengan bibir yang menekuk ke bawah. “Kau tidak menyukaiku, Richard. Aku ini egois dan manja. Aku selalu bersikap seenaknya. Aku angkuh dan sombong. Aku Si Ratu Drama yang dibenci semua orang. Kau mengatakan semua ini hanya untuk menyenangkan hatiku, kan?” kata Cathy.

Richard menggeleng lagi.

“Kau gadis yang berbeda saat bersama denganku. Kau memang manja, tapi kau selalu bersikap manis, tidak pernah mengecewakanku sama sekali,” kata Richard dengan wajah yang menunjukkan kesungguhan. “Kau gadis yang baik, Cathy. Kau menyayangiku dan membuatku merasa dibutuhkan. Dan aku menyukai itu. Sikap dramatismu itu, sama sekali bukan masalah untukku.”

Richard melanjutkan.

“Julie pun juga menarik perhatianku dengan cara yang seperti itu. Kalian berdua sebenarnya hampir sama, tapi berbeda. Kalau kau bisa memeriahkan suasana dengan cara sengaja menarik perhatian semua orang, Julie melakukannya tanpa ia menyadari kalau ia jadi pusat perhatian karena tingkah lakunya.”

“Aku suka gadis yang berjiwa hidup seperti kalian. Sialnya, kalian berdua saling bersahabat. Jadi, ketika aku memilihmu, aku justru makin sering bertemu dengan Julie,” kata Richard. “Dan Julie.. benar-benar berbeda. Aku juga tak mengerti kenapa. Semua usaha yang kulakukan untuk melupakannya, justru membuatku semakin tersiksa. Aku semakin mencintainya. Aku tidak bisa mencintaimu lebih daripada yang kurasakan pada Julie.”

Cathy tersenyum pahit.

“Aku mengerti. Kau menyukaiku. Tapi, kau hanya mencintai Julie.”

Richard mengangguk pelan.

“Di antara semua orang yang bersalah, akulah yang paling bersalah. Akulah yang telah memulai semua ini. Aku membiarkan akhir yang kacau pada kalian—betapa tidak adilnya karena ketidakdewasaanku. Aku bahkan merasa tidak pantas berbicara denganmu hari ini. Maafkan aku, Cathy, telah membuatmu terluka karena sikapku. Aku telah membuatmu tidak bahagia dengan kehadiranku. Seharusnya kita memang tidak pernah bertemu, agar aku tidak menyakitimu seperti ini. Aku akan pergi dari hidup kalian.”

Cathy terkejut. Ia mulai bersikap dramatis.

“Tidak! Tidak. Apa maksudmu? Pergi?”

Richard mengangguk. “Aku akan menyelesaikan semua kekacauan ini lalu pergi menjauh dari kalian. Sekarang, dengarkanlah apa yang kurencanakan terhadap Emma.”

“Tidak, Richard. Tidak! Aku bahagia! Aku sangat bahagia ketika bersamamu! Perhatianmu padaku benar-benar tulus. Kau mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya!” kata Cathy dengan menggebu-gebu.

“Dengarkan—”

“Sebelum bertemu denganmu, aku hanya bermain-main dengan hati orang lain, Richard. Tapi sekarang, aku merasakan jatuh cinta. Aku juga merasakan patah hati. Itu rasanya sakit sekali. Dan seumur hidupku, baru kau yang berhasil membuatku seperti ini. Ini rasa sakit yang sekarang justru membuatku bahagia. Kau telah mengajariku untuk melihat cinta yang kuharapkan. Kau membuatku sekarang menerima kerapuhanku dan masa laluku. Aku tahu kau menyayangiku.” Cathy memegang tangan Richard yang dingin.

Ia memandang Richard. Wajahnya yang mempesona itu selalu membuat jantungnya berdegup kencang.

“Dengarkan aku,” kata Richard sekali lagi, dengan wajah serius. Cathy terdiam seketika.

“Jadi begini,” kata Richard. “Aku tidak punya masalah personal dengan Emma dan aku juga tidak ingin menghancurkan masa depannya, jadi yang ingin kulakukan hanyalah menggertak saja. Aku tidak benar-benar akan memberikan video itu ke kepala sekolah, mungkin tidak akan pernah jika tidak terpaksa. Dari mana aku mendapatkan video itu? Sangat sulit sebenarnya, tapi aku tahu ini patut dicoba. Emma memiliki banyak pengikut loyal dari Kelas Dua Belas, tapi aku yakin pasti ada satu dua di antara mereka yang pernah merasa kecewa dan disakiti. Tidak mungkin tidak pernah.”

“Aku memang mengandalkan peruntunganku semoga salah satu di antara mereka ada yang pernah melakukan sesuatu untuk mengamankan diri. Aku benar. Ruth Orland melakukannya,” kata Richard. “Ruth Orland salah satu pengikut Emma sebelum Emma ke luar negeri. Dia adalah orang yang pernah disakiti hatinya oleh Emma dan menunggu saat untuk balas dendam. Yang Emma tidak tahu adalah, dia sepupu jauh Tania Lawless.”

“Ruth sudah lama memendam kebencian pada Emma, tapi tidak pernah berani berbuat apa-apa, sampai akhirnya Emma mengganggu Tania. Ruth dan Tania memang tidak dekat, tapi akhirnya hubungan darah itu membuat Ruth akhirnya berani merekam kejadian penyiksaan Tania di saat tak seorang pun berani melakukannya,” kata Richard. “Emma pun sedang lengah saat itu. Jadi, video itu berhasil tersimpan di ponsel Ruth dan Ruth memberi tahu Tania soal rencanannya membalas dendam.”

“Pada akhirnya, tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar berani merealisasikan rencana itu. Mereka takut pada pembalasan Emma, tak cukup pintar untuk mengatur strategi melawannya. Tania memilih pindah sekolah, daripada harus melawan Emma. Video itu tetap berada di tangan Ruth tanpa pernah sekali pun dipergunakan lagi.”

“Aku beruntung karena akhirnya menemukan Ruth dan gadis itu mau diajak bekerjasama. Dengan syarat, gadis itu tidak ingin namanya ketahuan dan jangan sampai Emma membalas dendam padanya. Dan jangan sampai ia bermasalah dengan Nimberland gara-gara itu. Ia hanya ingin Emma mendapat pelajaran, atau setidaknya menghentikan perbuatannya, tapi ia sendiri tidak mau terlibat masalah sama sekali. Aku mengerti hal itu. Oleh karena itu, satu-satunya cara yang akan berhasil adalah, aku tidak akan menyerahkan video itu sama sekali. Aku akan memainkan tipuan psikologis tanpa identitas. Untuk itu, aku perlu bekerjasama dengan Jerry.”

“Kesalahanku adalah karena melibatkan Julie terlalu dini. Aku tidak mengira kalau dia akan bertindak segegabah itu menghampiri kelompok Emma. Ini permainan yang berbahaya, seharusnya kalian tidak perlu kulibatkan sama sekali. Aku sudah mengatur strategi agar terornya di ujung nanti bisa menjatuhkan Emma. Perang pikiran untuk menunjukkan siapa yang paling cerdas. Ini adalah bagian kesukaanku. Ini keahlianku.”

“Teror?”

Richard tersenyum penuh arti.

“Pokoknya jangan khawatir tentang Emma. Aku tahu persis apa yang kulakukan,” kata Richard. “Yang penting sekarang, aku ingin hubunganmu dengan Julie membaik kembali. Semua akan baik-baik saja seperti dulu lagi.”

“Dan setelah itu kau akan pergi dari kami?” tanya Cathy dengan mulut tertekuk ke bawah. Richard mengangguk.

“Itu lebih baik untuk kita semua—”

“JANGAN BODOH!” Cathy menyambar cepat seperti singa marah. “Kau pikir apa yang menyebabkan pertengkaran hebat kami tadi sore? Itu karena Julie akhirnya mengakui padaku kalau DIA JUGA MENCINTAIMU.” Cathy mengulangi pernyataan itu dengan lebih dramatis. “Aku mendengarnya sendiri. Julie juga mencintaimu! Dia sendiri yang bilang padaku. Kau tahu? Tadi sore, kami bertengkar hebat karena itu. Dia marah padaku tidak mengizinkannya mencintaimu.”

Cathy mulai mengendalikan dirinya lagi.

“Yah, kupikir itulah yang membuatku semakin cemburu. Kalau Julie sendiri juga ternyata mencintaimu, aku pasti tidak punya harapan sama sekali,” lanjut Cathy. “Aku marah karena kalian berdua ternyata saling mencintai.”

Richard terdiam seribu bahasa. Akal sehatnya menolak mempercayai kata-kata ini.

“Tapi kau jangan pernah pergi! Atau aku tidak akan pernah memaafkanmu sama sekali! Aku akan benar-benar marah. Sangat marah!” kata Cathy. “Kau berhutang maaf padaku, Richard. Kau tahu kan, aku belum menerima permohonan maafmu sama sekali? Tanyakan padaku bagaimana agar aku memaafkanmu. Tanyakan padaku!”

Richard menahan napasnya. Percakapan ini mulai membawanya ke arah yang membuat jantungnya bergetar.

Cathy tersenyum.

 

***

BACA SELANJUTNYA >>http://nayacorath.com/2016/02/02/23-pengakuan-5/

23 – Pengakuan (3)

Comments 54 Standar

Kondisi Julie sudah membaik. Operasi berhasil dilakukan, tapi hanya pihak keluarga saja yang diizinkan masuk mengunjunginya. Kabar ini membuat mereka benar-benar lega, meskipun gadis-gadis The Lady Witches terpaksa tidak dapat mengunjungi Julie saat ini. Akhirnya, dengan hati yang terasa lebih ringan, mereka memutuskan untuk berkumpul di kursi batu yang terdapat di pekarangan belakang rumah sakit malam itu. Sebuah taman bunga berumput hijau luas yang sering dijadikan tempat refreshing bagi para pasien yang berjalan-jalan sore dengan kursi roda mereka.

“Teman-teman, maafkan aku,” kata Cathy.

Cathy berulang-ulang mengucapkan hal ini, sejak di ruangan tunggu gawat darurat, sampai-sampai Jessie eneg mendengarnya.

“Kau tidak perlu berkali-kali minta maaf, Cath. Kalau kau minta maaf lagi, aku bisa menggorok lehermu,” kata Jessie pongah. “Yang aku butuhkan sekarang justru sebuah penjelasan. Tentang kau dan Julie. Dan Cassandra. Terlalu banyak sikap kalian yang gagal kumengerti, dan aku—BUTUH PENJELASAN PANJANG.”

Cassandra ikut menimpali. “Aku juga minta maaf.”

Jessie memutar bola matanya.

“Justru itulah sebabnya kalian kukumpulkan di sini,” Kayla menambahkan. “Jessie benar. Kalian semua berhutang banyak penjelasan pada kami.” Kayla memilih duduk di batu yang bersebelahan dengan Cathy, agar dapat menyimak gadis itu dengan sebaik mungkin. “Tak hanya Cathy dan Cassandra saja yang berutang penjelasan. Juga Richard.”

Richard mendengar perkataan itu tapi tidak melihat ke arah Kayla. Sejak tiba di rumah sakit tadi, anak laki-laki ini hanya diam saja. Ia hanya memandangi Lily sebentar, lalu berbicara sedikit-sedikit pada Nick yang memberikan laporan. Selebihnya, anak laki-laki itu hanya tampak seperti patung yang mengasingkan diri. Ia merasa dirinya tidak pantas berada di antara mereka. Nick menghibur Richard dan mengajaknya untuk ikut dengan kelompok Jessie ke taman rumah sakit, meskipun awalnya gagasan ini mendapat penolakan dari Richard.

Anak laki-laki itu memilih duduk di bangku batu yang paling pinggir.

“Baiklah, mari kita mulai,” kata Kayla. Ia menyilangkan kaki dan menyentuh dagunya sambil memandang Cathy. “Hal pertama yang ingin kuketahui—kenapa kau meninggalkan kami?”

Cathy menelan ludahnya dan tersenyum manja. “Bukankah kalian sudah mengetahuinya? Apalagi kau, Kay. Kau kan punya semacam—” Cathy meraba-raba udara dengan telapak tangan terbuka, “—kemampuan psychic. Kau pintar mengobservasi. Kau bisa membaca pikiran semua orang, kan? Kau pasti sudah tahu alasanku.”

“Aku tahu, Cath. Tapi aku butuh kau mengatakannya,” kata Kayla.

“Mengatakannya? Untuk apa?” Cathy mengelak.

Kayla menghela napas penuh kesabaran.

“Cath. Aku ingin kita saling jujur mulai dari sekarang. Semua masalah ini berawal karena kita saling menyembunyikan rahasia.” Kayla berkata lebih keras. “Aku mungkin tahu alasanmu. Tapi aku tak tahu apa yang tersembunyi rapat-rapat di dalam hatimu. Cathy yang kulihat hari ini—bukan Cathy yang pernah kukenal. Cathy yang menangis begitu pilu, dia tak pernah ada sebelum hari ini. Kurasa inilah Cathy yang sebenarnya. Kau menyimpan suatu rahasia, dan kau menyembunyikannya dari kami, Cath.”

Ekspresi Cathy langsung berubah.

“Aku tidak bisa berdekatan dengan Julie,” kata Cathy kemudian. Ia mengucapkannya dengan sangat serius, lebih serius dari yang pernah mereka lihat selama ini. Kedua tangannya diletakkan di atas pangkuan, wajahnya lebih kaku dan datar daripada sebelumnya. “Itulah sebabnya aku meninggalkan kalian. Kalian teman-temannya Julie.”

Cathy menggeram rendah. Alisnya bertaut.

“Aku marah padanya karena merebut Richard dariku. Tapi yang baru kusadari belakangan, sebenarnya ada hal yang lebih mendalam lagi, yang menjadi alasanku yang sebenarnya.” Cathy berhenti sejenak.

“Aku iri padanya.”

Gadis-gadis itu tersentak.

“Kenapa?” tanya Lucy.

“Karena dia memiliki semua yang kuinginkan!” jawab Cathy dengan berapi-api. Keningnya mengerut marah dan napasnya mulai pendek-pendek. “Keluarga yang sempurna! Ibu yang sangat akrab dengannya! Ayah yang mencintainya!” Bibir Cathy bergetar hebat. “Sedangkan aku tidak punya. Keluargaku berantakan. Tidak ada yang mencintaiku.”

Napas Cathy semakin memburu. Matanya yang berkaca-kaca dengan cepat menumpahkan setetes air mata. Gadis itu langsung menghapusnya.

“Aku tidak pernah menceritakan ini pada kalian. Ayahku yang tidak pernah kalian lihat? Dia tinggal di Jerman, dengan selingkuhannya. Dia meninggalkanku dan Mom tujuh tahun yang lalu. Bahkan meskipun aku sudah menangis keras-keras dan memeluk kakinya agar dia tetap tinggal demi aku, dia tetap saja memilih pergi.” Cathy meneteskan air matanya dan mengusapnya sekali lagi.

“Sejak mereka bercerai, aku tak pernah melihat wajahnya lagi. Dia pun tak pernah menghubungiku, bertanya seperti apa kabarku. Ia tak menyayangiku sama sekali—orang itu,” kata Cathy penuh kemarahan. “Dan aku hidup dengan kenyataan ayahku memilih perempuan lain dibandingkan aku. Mom bilang mereka sudah punya seorang puteri lagi di Jerman. Sempurna. Aku memang tidak pernah berharga baginya, sampai-sampai dia harus memiliki putri baru yang lebih membanggakan untuknya.”

Gadis-gadis itu menatap Cathy dengan tatapan yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Sebuah tatapan iba yang luar biasa. Cathy tidak pernah menceritakan tentang latar belakang keluarganya selama ini. Gadis itu selalu bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja, tidak pernah mengungkit sedikitpun kekecewaannya pada orangtuanya. Ini adalah pemandangan baru bagi mereka semua.

Jessie bertanya dengan penasaran, “Bukankan kau bilang ayahmu sedang pergi berbisnis di luar negeri?”

“Iya, memang dia pergi. Pergi untuk selamanya,” kata Cathy sinis.

Cathy melanjutkan ceritanya.

“Kalian juga tak pernah melihat ibuku, kan? Itu karena aku tidak mau kalian melihatnya. Dia sangat jauh dari gambaran ibu sempurna. Dia bukan ibunya Julie,” kata Cathy. “Aku selalu iri dengan kedekatan Julie dan ibunya, dengan kenakalan-kenakalan yang mereka lakukan—aku bahkan hampir tak pernah berbicara dengan ibuku lagi. Dia selalu tenggelam dalam pekerjaannya, hampir 24 jam, seperti tak punya kehidupan lain. Aku marah padanya, selalu menganggapnya musuhku sampai saat ini, tapi aku tahu dia melakukan itu untuk melupakan Dad. Dulu Mom malah lebih parah lagi, dia selalu mabuk-mabukan selama berbulan-bulan. Hidupnya berantakan. Dia lupa kalau dia masih punya aku. Dia lupa kalau kami masih punya satu sama lain.”

Gadis-gadis itu memandanginya dengan penuh simpati.

“Yah, apalah aku. Mungkin aku memang tidak cukup berharga untuk mereka,” Cathy berusaha tersenyum palsu. “Kupikir itu karena aku tidak cukup cantik. Aku harus lebih cantik daripada wanita yang merebut Dad, agar suatu saat dia sadar bahwa puteri kecilnya yang ada di sini, adalah hartanya yang paling berharga. Supaya suatu saat dia pulang.”

Tangisnya pecah.

“Aku tahu, selama ini aku bersikap semena-mena pada kalian. Juga pada semua anak laki-laki yang menyukaiku. Aku memang ingin mempermainkan mereka.” Cathy tertawa getir. “Tidak ada seorang pun yang boleh mempermainkan perasaanku! Dan jika kecantikan itu memang adalah jawaban, maka aku bersumpah akan menjadi gadis tercantik yang pernah ada di dunia ini! Kupastikan seluruh laki-laki akan bertekuklutut padaku! Tidak boleh ada yang meninggalkanku lagi. Tidak. Tidak. Aku sudah punya kecantikan yang mereka butuhkan.”

Cathy berhenti sebentar.

“Lalu aku bertemu Julie.” Dia tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

“Julie adalah misteri untukku. Dia tidak cantik. Dia biasa saja. Dia bahkan bodoh sekali. Tapi seluruh anak laki-laki menyukainya. KENAPA? Aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri, tapi tak pernah ingin mengakui kalau dia lebih baik dariku. Maksudku, aku lebih cantik darinya, kan?” cecar Cathy penuh tanda tanya. “Kenapa mereka menyukainya? Kenapa Julie mendapatkan semua perhatian itu? Kenapa Julie mendapatkan semua yang ingin kumiliki, tanpa bersusah payah sama sekali? Aku buta. Yah, aku buta oleh rasa cemburu, tapi aku tak pernah ingin mengakuinya di depan kalian—bahkan aku tidak ingin mengakuinya pada diriku sendiri! Mengakui ini sama saja seperti menuntut bahwa Tuhan tidak adil padaku. Dan aku benci itu.”

Cathy menurunkan intonasinya.

“Dan satu hal lagi yang membuatku benci pada Julie adalah—RICHARD.”

Seluruh mata memandang Richard. Richard melihat ke arah mereka sebentar, tapi selanjutnya memalingkan mukanya.

“Aku mencintaimu, Richard,” kata Cathy sungguh-sungguh. “Aku mencintaimu, dengan alasan yang tidak sama seperti mereka. Kau membuatku percaya kalau laki-laki sangat baik itu ada—walaupun yah, pada akhirnya kau malah menyakiti perasaanku. Kau sangat baik. Sopan dan lembut. Kau sangat berbeda dari ayahku. Kau memperhatikanku dengan tulus. Kau memberiku harapan. Tapi akhirnya kau malah meninggalkanku karena Julie. Itulah yang membuatku murka. Kalian bisa bayangkan perasaanku kan? Aku mengulangi kebodohan ibuku. Dan aku akhirnya marah pada Julie. Aku meninggalkan kalian, karena kalian adalah teman-teman Julie. Kebodohanku bertambah dua kali lipat. Aku adalah manusia terbodoh. Sekarang kupikir lagi, pantas saja semua orang meninggalkanku.”

Cathy sekarang melempar pandangannya ke arah Cassandra.

“Jangan salahkan Cassandra meninggalkan kalian, karena akulah yang memaksanya. Aku tahu Kay, kau dan Jessie tak mungkin mau meninggalkan Julie—dan Lucy, tanpa maksud apa-apa sama sekali, aku tidak mengajakmu karena yah, kau tahu kan kita berdua tidak begitu cocok? Itulah sebabnya aku hanya mengajak Cassandra dan menghindari kalian. Aku tidak mau berurusan dengan Julie lagi. Melihat wajahnya saja sudah membuatku marah pada diriku sendiri,” kata Cathy. Lucy tersenyum, mengangguk memaklumi. “Dan di sinilah aku. Berlari meninggalkan kenyataan, dan menjauhi teman-temanku, orang-orang yang mencintaiku. Bahkan Julie sampai mengejarku karena ingin memintaku kembali. Dan aku masih membencinya hanya karena seorang anak laki-laki? Betapa bodohnya.”

“Semua ini, akibat keegoisanku. Kalau saja aku tidak memaksakan kehendak, semuanya tidak akan jadi seperti ini!” kata Cathy meluap-luap. “Semua kemarahanku, aku melampiaskannya pada orang yang salah. Julie.” Cathy mendengus sedikit. “Dia memang sasaran empuk untuk dipersalahkan. Entah kenapa, dia menjadikan semuanya lebih mudah. Hidupnya terlalu sempurna. Rasa cemburuku pun ibarat mendapat minyak panas di tengah-tengah api yang membara. Lalu setelah semua kebaikan yang dia lakukan untukku, aku malah mencelakakannya. Betapa bodohnya aku?? Dan ini semua berawal dari kemarahanku pada orangtuaku. Aku berubah menjadi orang yang jahat.”

“Kenapa kau tidak pernah menceritakannya pada kami, Cath? Tentang orangtuamu?” tanya Kayla.

Cathy tertawa kecil. Matanya masih menyimpan kilatan marah yang berusaha ditahannya.

“Untuk apa? Untuk menunjukkan bahwa aku gadis lemah yang tidak berdaya diperlakukan demikian?” tanya Cathy dengan ekspresi retoris. “Sementara Julie bersenang-senang dengan ibunya setiap hari dan kalian tertawa membicarakannya. Tidak. Aku tidak ingin terlihat lemah. Aku lebih kuat daripada yang kalian duga. Aku sudah melalui ini dan aku tidak ingin menangis untuk ayahku yang bahkan tidak menginginkanku. Aku tidak butuh dia. Aku tidak butuh kalian kasihani. Aku bisa menjalani kehidupanku sendiri dan semua orang—semua orang menyukaiku. Tidak ada orang yang menyia-nyiakanku. Tidak ada seorang pun yang menyakiti hatiku. Hanya aku yang boleh melakukannya. Hanya aku yang boleh memutuskan akan menyakiti hati siapa.”

Cathy tertawa pahit. “Aku terdengar jahat.” Ia menyentuh rambut coklatnya yang panjang sambil menatap getir. “Mungkin aku memang jahat. Jiwaku sudah rusak. Aku rusak.”

“Tidak, Cathy. Kau tidak jahat,” kata Kayla dengan perlahan. “Kau hanya orang yang menjadi korban.”

Kayla membelai rambut Cathy dengan lembut.

“Tapi aku sangat egois dan hanya memikirkan diriku sendiri!” kata Cathy. “Kalian pantas membenciku.”

Jessie, yang memperhatikan cerita itu dengan sungguh-sungguh, sekarang mulai menggunakan gilirannya berbicara.

“Kau mau tahu apa yang kupikirkan, Cath?” tanya Jessie. “Kau memang pantas dibenci. Dan aku—sangat muak padamu, meskipun sudah memaafkanmu. Kau harus tahu, Cath, kau sangat beruntung memiliki kami sebagai temanmu. Dan yang terpenting, kau sangat beruntung memiliki sahabat seperti Julie. Dia adalah alasanku kenapa memaafkanmu secepat ini. Dia adalah sahabat terbaikku dan aku tahu dia pasti akan marah padaku jika berlama-lama memusuhimu.”

“Aku sangat menyesal dengan apa yang kulakukan—” kata Cathy sungguh-sungguh.

“Ya! Kau memang seharusnya menyesal,” potong Jessie cepat-cepat. “Dan yang paling harus kau sesali adalah karena kau menyembunyikan semua ini dari kami! Sial! Kenapa kalian semua suka sekali menyimpan rahasia? Julie juga sama saja! Kalian semua suka memendam rahasia, seolah-olah tidak mempercayai kami sebagai sahabat kalian.”

“Aku setuju. Semua ini tidak akan terjadi kalau kita saling berterusterang satu sama lain,” kata Kayla dengan tenang. “Sejujurnya aku merasa kecewa karena baru mengetahui ceritamu sekarang. Kupikir aku sudah cukup perhatian pada semua orang, tapi kenyataannya aku tidak mengetahui apa pun yang disembunyikan oleh sahabat-sahabatku. Jessie benar. Dan aku merasa sakit hati karena tidak dipercayai oleh teman-temanku sendiri. Cathy, aku jarang mengatakan ini padamu, tapi sesungguhnya aku tidak mau lagi berusaha menebak-nebak isi pikiranmu. Aku ingin suatu saat kau mempercayaiku tanpa harus aku yang memintanya.”

Kayla mengubah posisi duduknya. Ia meluruskan tulang punggungnya dan duduk lebih tegap daripada sebelumnya. Wajahnya mengeras, mengesankan pesan kesungguhan yang ingin disampaikan pada mereka semua. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat.

“Siapakah kita ini? Apakah orang asing yang hanya berkumpul untuk bersenang-senang saja?” kata Kayla dengan tegas. Suaranya terdengar lebih lantang. “Coba renungkan ini baik-baik. APA KITA MEMANG SUNGGUH-SUNGGUH TEMAN? APA ARTI SAHABAT UNTUKMU?”

Cathy terdiam.

“Kejadian ini menegurku sesuatu hal yang penting. Sesuatu hal yang selama ini kita lupakan. Sesuatu yang hanya kuanggap remeh,” kata Kayla tegas. “The Lady Witches—bukan sahabat. Kita hanya kenalan di saat senang, kenalan yang menjadi orang asing di saat kesulitan.”

Perkataan Kayla barusan menusuk jantung mereka. Gadis-gadis itu terdiam. Udara dingin yang berhembus malam itu menambahkan rasa bersalah yang menyelimuti hati mereka. Tidak ada lagi keheningan yang lebih dingin daripada ini.

“Kalau kita memang merasa saling bersahabat, mulai dari sekarang kita harus bersikap selayaknya sahabat yang sebenarnya. Kita berbagi rahasia, bukan menyembunyikannya,” kata Kayla. “Ini kusampaikan pada kalian sekarang, karena aku pun juga sama berdosanya. Aku tidak pernah bercerita lebih banyak pada kalian tentang kelanjutan hubunganku dengan Steve, bukan? Kenyataannya adalah—dia menolakku. Menurutnya, aku terlalu dewasa. Tapi aku tak sempat menceritakannya pada kalian, karena kalian terlalu sibuk mengagumi Richard.”

“Kayla,” Gadis-gadis itu bergumam.

“Tapi tidak apa, aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Aku sendiri tidak merasa itu hal yang penting,” kata Kayla. “Sekarang aku mulai memahami kenapa kau melakukan hal itu, Cath. Kau mengira itu hal yang tidak penting bagi kami. Kau mengira kisahmu ini tidak ada artinya untuk kami. Padahal jika kita adalah sahabat, setiap hal kecil dan besar adalah hal yang sama pentingnya. Jika ini besar untukmu, maka sebagai sahabat yang baik, hal ini adalah hal yang besar untuk kami juga. Kita seharusnya saling berbagi. Bukan hanya kesenangan dan canda tawa saja, tapi juga kisah sedih yang mempengaruhi perasaan kita. Sekarang jawab pertanyaanku. Pernahkah kita berbagi kesedihan? Tidak. Tidak pernah. Tidak sekali pun. Mulai dari sekarang, kita harus lebih terbuka dengan perasaan kita masing-masing. Tidak ada lagi kepura-puraan. Aku ingin—tidak ada lagi rahasia. Setuju?”

Gadis-gadis itu mengangguk.

“Pertanyaanku yang berikutnya, Cathy,” kata Kayla. “Apa yang terjadi padamu dengan Jake? Aku tahu kau menyembunyikan kenyataan yang berhubungan dengan Emma dari kami selama ini. Katakan pada kami. Apa yang sebenarnya pernah terjadi di antara kalian? Apa yang terjadi saat dulu Julie memergokimu menangis setelah diganggu Emma?”

Cathy tidak langsung menjawab. Dia melihat ke arah Cassandra, Lucy, Jessie, Nick, dan Richard, lalu menelan ludahnya.

“Dia—“ kata Cathy terbata-bata. “—menangkapku dan memojokkanku di belakang gedung sekolah. Tempat biasanya ia dan teman-temannya melakukan penyiksaan. Dia dulu mengancamku untuk tidak mendekati Jake. Dia berkata kalau ia sanggup melakukan hal yang lebih kejam lagi jika aku masih tidak menghiraukan ancamannya.”

“Apa yang dilakukannya padamu?” tanya Kayla.

Cathy tersenyum getir, sejujurnya sangat tidak ingin menceritakan hal ini. Ia butuh waktu beberapa puluh detik sampai akhirnya membuka mulutnya. “Dia meminumkan urinnya padaku.”

“APA?”

Cathy mulai lepas kontrol. “Memalukan! Bagaimana mungkin aku menceritakannya pada kalian!”

Cathy hampir saja bangkit dari tempat duduknya dan ancang-ancang untuk pergi menjauh sejauh-jauhnya dari mereka.

“Menjijikkan! Aku jijik pada diriku sendiri. Aku tak bisa menghadapi kalian seperti ini!” Cathy semakin menjadi-jadi. Kejadian itu begitu traumatis di benaknya, sampai-sampai sikap tenang yang tadinya susah payah ia pertahankan, kini mulai lepas kendali.

“Cathy, tenanglah!” perintah Kayla. Ia menangkap tangan Cathy dan berusaha menenangkannya. Lucy dan Cassandra ikut membantu.

“Kalian harus mengerti kenapa aku tidak bisa menceritakan hal ini. Aku tidak ingin menangis untuk  wanita jalang itu!” kata Cathy dengan napas menderu-deru. “Emma dan teman-temannya mengikatku di tempat terkutuk itu. Lalu dia menghinaku sedemikian rupa! Lalu dia merusak barang-barangku. Lalu dia merendahkan semua hal yang kumiliki.”

“Kau seharusnya melaporkan tindakannya ke kepala sekolah,” kata Lucy.

Cath tertawa skeptis.

“Dan membiarkan mereka tahu aku meminum air urin Emma? Tidak akan pernah!” kata Cathy. “Aku tidak akan membiarkan harga diriku diinjak-injak seperti itu! Lebih baik aku mati!”

“Cath, kau tahu aku tidak suka kata yang terakhir kau sebutkan barusan,” kata Jessie dingin. “Kau harus meralatnya.”

Cathy mulai bersikap tenang.

“Ya, maafkan aku. Aku hanya—“ Cathy menghela napas panjang. “Tidak suka gadis itu.”

“Jika kau menceritakan hal itu lebih awal pada kami, apa yang kau takutkan terjadi? Apa kau takut kami akan menertawakanmu?” tanya Jessie. Ia tertawa kecil. “Iya. Aku memang akan menertawakanmu.”

Kayla mendesis. “Jess.”

“Maksudku,” jelas Jessie. “Kenapa kau harus berlebih-lebihan menanggapi sesuatu? Jika kau menceritakannya pada kami, mungkin kami akan tertawa sebentar, dan tidak percaya apa yang kau katakan. Tapi jika dia memang sungguh-sungguh menyakitimu, kami pasti akan jadi yang pertama membelamu. Kenapa pikiran itu tak pernah terlintas di kepalamu?”

Cathy menggeleng.

“Kau tak tahu Emma,” kata Cathy.

“Aku tak tahu, karena tidak pernah kau jelaskan,” jawab Jessie sengit. Kayla mulai mencium gelagat yang kurang menyenangkan di antara mereka berdua. Sebelum Kayla sempat mendamaikannya, Lucy segera menimpali.

“Emma sangat piawai untuk menciptakan kata-kata jahat yang menyakitkan,” kata Lucy. “Kurasa dia juga sudah memanipulasi pikiran Cathy supaya alam bawah sadarnya menolak menceritakan hal ini pada orang lain. Sama seperti yang dilakukannya terhadap Cathy. Siapa yang bisa percaya kalau sang bintang idola sekolah, yang selalu dipuja-puja guru karena prestasinya yang membanggakan, memaksa juniornya untuk meminum air urinnya sendiri? Bahkan walaupun Emma tak membisikkan kata-kata manipulatif yang menyentuh ego korban-korbannya, siapa pun juga tidak akan percaya dengan kebenaran berita itu. Dia terlalu sempurna untuk dibayangkan melakukan kejahatan itu.”

“Dari mana kau tahu?” kata Cathy.

“Desas-desus,” jawab Lucy. “Salah seorang korbannya pernah bercerita padaku. Tidak banyak, tapi aku menyimpulkan sendiri. Tania Lawless, jika kalian masih ingat. Dia dulu anggota klub akademis, sebelum memutuskan pindah sekolah.”

“Tania Lawless?” sahut Nick tiba-tiba. “Itu kan gadis yang ada di video dari Rich—”

Richard berdehem keras. Ia memandang Nick dengan tatapan penuh arti. Nick langsung membatalkan ucapannya saat melihat reaksi dari Richard. “Tidak apa-apa, teruskan. Teruskan. Aku hanya menceracau,” kata Nick.

“Apakah Emma masih mengganggumu setelah itu?” tanya Kayla.

Cathy mengangguk. “Iya. Beberapa kali. Di antara jam-jam istirahat atau saat jam pulang sekolah, mereka menyeretku dan menjebakku. Hanya gertakan-gertakan yang sama, tidak lama, setelah itu melepaskanku kembali. Gangguan itu terhenti setelah Emma pindah ke luar negeri beberapa bulan yang lalu. Teman-temannya tidak menggangguku. Mereka bersikap biasa saja. Entah karena mereka adalah budak pengecut yang tolol, atau karena memang Emma-lah yang menjadi sumber kejahatannya.”

Cathy terlihat sinis dan bangga di waktu yang bersamaan.

“Untuk menunjukkan harga diriku, aku memacari Jake. Aku tidak takut pada gertakan Emma. Dia hanya gadis payah yang menyedihkan. Dia pikir dia gadis tercantik di dunia?” kata Cathy dengan ekspresi jijik. Kesombongannya mulai keluar lagi. “Jake bertekuk lutut padaku. Ini bukti bahwa dia sama sekali tidak berharga. Dia jauh lebih rendah daripadaku.”

“Kau mulai terdengar mengesalkan,” kata Jessie.

“Apa yang kau harapkan? Aku memang seperti ini,” protes Cathy membela diri. “Aku memang bersalah pada Julie, aku akui itu. Tapi aku tidak bisa mengubah sifatku yang ini. Ini bawaanku sejak lahir. Aku benci Emma, dan aku tidak akan ragu-ragu menyatakannya. SEEKSPRESIF MUNGKIN. Terimalah, ini aku, Jessie SAYANG.”

Gaya sombong Cathy yang mengesalkan itu membuat Jessie ingin menonjoknya sekali lagi. Tapi ia sadar, Cathy memang benar. Sikapnya yang dramatis dan berlebih-lebihan itu memang bagian dari kepribadiannya yang tidak bisa berubah. Justru sifatnya itulah yang menjadi bumbu di dalam kelompok mereka. Perlahan-lahan, suasana percakapan di antara mereka mulai kembali hangat dan santai, seperti dulu lagi.

“Awas kau,” ancam Jessie, hanya bermain-main.

Kayla mulai mengembalikan pembicaraan ke topik semula. “Lalu apa yang terjadi setelah Emma kembali ke Nimberland?”

“Dia melabrakku,” kata Cathy. “Tadi sore. Itu pertama kalinya dia melabrakku sejak kembali ke kota Eastcult.”

“Kau tadi bilang Julie tadi menolongmu dari Emma. Apakah itu ada hubungannya dengan luka bakar di pergelangan tangan Julie?” tanya Kayla.

Cathy mengangguk.

“Emma dan kawan-kawannya baru saja akan menyiksaku tadi ketika Julie akhirnya datang. Aku tak tahu darimana dia mengetahui lokasi ini. Setahuku, Emma dan kawan-kawannya menyembunyikan fakta kejahatan mereka dengan sangat rapi,” kata Cathy. “Awalnya Emma mengajak Julie untuk menyaksikan penyiksaanku, tapi Julie malah menentangnya dan membelaku. Akhirnya Emma memutuskan untuk memberinya hukuman perkenalan.”

Cathy meringis.

“Apa yang kupikirkan? Bahkan setelah Julie melakukan hal itu untukku, aku masih saja memperlakukannya dengan jahat?” desah Cathy frustasi. “Julie kemudian memperlihatkan sebuah video dari ponselnya, yang membuat Emma benar-benar gusar. Kurasa itu bukti kejahatan Emma, yang selama ini selalu sulit didapatkan. Aku tak tahu dari mana Julie mendapatkannya.”

“Video?” tanya Kayla.

“Iya. Video penyiksaan Tania Lawless, yang dibilang Lucy barusan tadi. Aku tak sempat memikirkan bagaimana gadis itu bisa mendapatkannya, yang kupikirkan saat itu hanyalah betapa Julie telah mempermalukanku dengan segala kesempurnaannya. Dia bahkan berhasil mengusir Emma dan teman-temannya dari tempat itu. Dia—seperti seorang pahlawan. Dan itu membuatku semakin marah padanya! Dia ingin menolongku, tapi aku malah membentaknya. Aku pergi, dia mengejarku. Aku mengusirnya, dia mulai meneriakiku untuk berhenti.”

Cathy tampak geram.

“Tidakkah ia tahu kalau aku sangat tidak ingin melihat wajahnya? Kenapa dia benar-benar bodoh? Aku bahkan tak pantas mendapatkan maaf darinya.”

“Dia memang sebodoh itu dari dulu,” kata Jessie. “Itu yang membuatnya istimewa.”

“Entahlah. Yang kuinginkan sekarang hanyalah meminta maaf padanya. Aku sudah menjadi teman yang terlalu buruk. Mulai dari sekarang, aku berjanji akan berubah untuk Julie. HANYA UNTUK JULIE SAJA. Ingat itu,” kata Cathy dengan penekanan khusus.

“Dia mengorbankan nyawanya untukku, di saat seharusnya aku yang pantas berada di posisinya saat ini. Seharusnya aku yang terbaring di sana, bukan Julie. Aku berhutang budi padanya, sangat banyak. Kejadian ini menyadarkanku akan banyak hal. Kurasa hidupku tak akan sama seperti dulu lagi.”

“Tak hanya kau yang berubah, Cathy. Julie pun juga begitu. Tidakkah kalian memperhatikannya?” tanya Kayla. “Jess, kau dan aku paling tahu Julie dari dulu sifatnya seperti apa. Dia tak pernah ambil pusing akan apa pun.”

Jessie tertawa kecil.

“Dia manusia tersantai yang pernah kukenal seumur hidupku,” kata Jessie sambil mengangguk.

“Julie itu tipe orang yang selalu berpikir pendek. Semua yang dia lakukan di dalam hidupnya seperti tanpa pertimbangan sama sekali. Benar-benar cuek. Kecerobohannya adalah efek samping dari kelemahannya yang satu ini,” kata Kayla. “Dia tak pernah mengkhawatirkan masalah, atau mengkhawatirkan apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Dia tak peduli pada dirinya sendiri. Sifatnya yang sangat gegabah ini sering membuatnya tertimpa masalah sejak dulu, tapi lagi-lagi—ia tak pernah merasa perlu memikirkannya. Hukuman apa pun yang menimpanya tak pernah membuatnya merasa tidak ingin bergembira.”

“Singkatnya, dia itu sapi bodoh,” sambung Jessie.

“Aku tidak pernah melihat Julie bersedih selama ini, Cath, tidak selama bertahun-tahun aku mengenalnya. Baru kali ini aku melihat Julie bersedih memikirkan sesuatu. Dan dia benar-benar menahannya,” kata Kayla. “Bukan tipikal Julie yang suka berlama-lama memikirkan apa pun, apalagi menghadapi masalah-masalah yang ditemuinya. Dia biasanya selalu lari dari masalah apa pun, atau berpura-pura tidak mengingatnya. Tapi kali ini, masalah dia denganmu, Cath, dia tak bisa lagi seperti itu. Entah kenapa, dia sangat ingin menyelesaikan pertikaiannya denganmu. Dia tidak bisa lagi berlama-lama pura-pura tidak terjadi apa-apa dengan perasaannya.”

“Aku yakin, masalahnya denganmu telah membuatnya tumbuh menjadi lebih dewasa sekarang. Semua hal yang selama ini ia lakukan dengan sangat gegabah dan cuek tanpa khawatir akibatnya sama sekali, aku yakin sekarang dia sudah mulai mempertimbangkannya dengan baik. Dia belum pernah mengalami ini sebelumnya, kehilangan seorang teman,” kata Kayla. “Kalau kau kenal Julie dari dulu, kau akan tahu kalau nilai yang paling dijunjung Julie dan selalu membuatnya rela berkorban apa pun adalah pertemanan. Apa pun yang terjadi dalam hidupnya, Julie tidak akan pernah memikirkan dirinya sendiri. Dia hanya ingin membahagiakan teman-temannya. Itu yang membuatnya lebih memilihmu ketimbang Richard, walaupun aku yakin dia sebenarnya sedang membohongi perasaan sendiri. Kau ingin tahu kenapa Julie sangat spesial untukku dan juga Jessie?”

Cathy tersenyum. “Aku sudah tahu.”

“Termasuk kenapa anak laki-laki tergila-gila pada Julie padahal wajahnya dia tidak cantik sepertimu?” imbuh Jessie.

“Aku SUDAH tahu,” kata Cathy, menimpali Jessie dengan kesal. “Kecantikan hatinya yang membuat kalian menyukainya, bukan? Aku pun baru sadar kalau aku tertarik padanya karena hal itu.”

“Bukan. Tapi karena feromon di ketiaknya,” jawab Jessie. Cathy menggeram kesal dan siap-siap mencakarnya.

“Walaupun aku tidak suka dengan cara kita melalui kedewasaan ini, tapi aku harus berterimakasih padamu karena kau telah memberikan Julie sebuah pelajaran yang berharga,” kata Kayla. “Kau telah memberikan kita semua pelajaran yang berharga. Aku pun banyak belajar dari peristiwa ini.”

Gadis-gadis itu mengangguk.

“Aku juga banyak belajar,” kata Cassandra. “Maafkan aku karena tidak bisa menjadi teman yang baik untuk kalian dan juga Julie. Aku—aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku ingin bersama Cathy, tapi aku juga ingin bersama kalian, hanya saja—”

“Sudah kubilang kan, ini bukan salahmu,” kata Cathy. “Jangan paksa aku mengulanginya lagi, Cass.”

Cassandra menunduk patuh, lebih-lebih karena ngeri. Gadis-gadis itu tertawa.

“JADI,” kata Cathy. “Semua sudah tertawa. Julie juga sudah membaik. Happy ending! Apa lagi yang ingin kalian tanyakan? Sudah terjawab semua, bukan?”

Kayla mengerutkan keningnya.

“Belum,” kata Kayla. “Ada satu kisah yang belum kita dengarkan.. dan itu adalah dari Richard. Sangat banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Richard, dan aku yakin kalian ingin mendengarnya juga.” Gadis-gadis itu mengangguk antusias.

Kayla mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Richard. Sedikit lagi, seluruh pertanyaan yang ada di benaknya akan terjawab. Ia memandangi rambut emas Richard yang berkilau di bawah cahaya lampu.

“Pertanyaan pertamaku adalah—Richard, kenapa kau tidak mengatakan yang sejujurnya bahwa kau menyukai Julie?”

Richard memasang telinganya saat mendengar namanya disebut. Tapi ia masih membuang muka, tak sedikit pun melihat ke arah mereka.

“Richard, katakan sesuatu,” kata Kayla.

Richard diam saja.

“Richard,” kata Kayla sekali lagi.

Richard masih memaku tatapannya ke rimbunan gelap pohon oak yang tumbuh tinggi lima ratus kaki jauhnya dari mereka. Matanya menerawang tanpa nyawa.

Kayla menghela napas kesal. Ia tahu benar kenapa Richard melakukan ini. “Kau masih marah padaku, Richard?”

Mereka menunggu reaksi Richard, tapi anak laki-laki itu tetap tidak menjawab apa pun. Ia mengatupkan kedua rahangnya dengan sangat rapat dan tidak memberikan respon apa pun atas pertanyaan Kayla barusan. Hal ini membuat Kayla meradang.

“Jadi, kau masih tidak mau berbicara apa pun padaku?” kata Kayla, mengingat pembicaraannya yang terakhir dengan Richard memang tidak berakhir menyenangkan. Sejak saat itu Richard selalu menghindarinya. “Setidaknya, bicaralah pada mereka. Kau berutang penjelasan pada mereka. Aku akan pergi dari sini jika kau mau.”

Richard tetap bergeming. Mulutnya terkatup membentuk garis wajah yang muram.

“Baiklah. Kalau kau tak mau bicara apa-apa, sekarang izinkan aku yang berbicara. Aku akan mengatakan apa yang kupikirkan tentangmu, tepat di depan mereka semua. Mengerti?” kata Kayla dengan nada mengancam. “Menurutku, kau adalah anak laki-laki paling pengecut yang pernah kukenal. Aku menyesal karena pernah menyukaimu, Richard. Kau menciptakan masalah ini, dan sekarang kau lari dari masalah. Kau menghancurkan persahabatan teman-temanku, lalu kau menghilang begitu saja. Kau bahkan lebih buruk daripada Julie dan Cathy.”

Rahang Richard mengeras. Ekspresinya sangat kaku, seperti es.

“Kau tidak mau mengklarifikasi pernyataanku? Kau masih tidak mau menjelaskan semua ini dari sudut pandangmu?” kata Kayla dengan intonasi tajam. “Apa kau mau aku terus-menerus menjelek-jelekkanmu? Karena hanya itulah yang bisa kupikirkan saat ini. Kau tidak memberiku kesempatan untuk berpikir hal apa pun yang baik tentangmu.”

Serangan bertubi-tubi Kayla terhadap Richard membuat gadis-gadis yang melihat kejadian itu langsung ngeri. Mata Kayla berkilat marah dan nada suara yang kejam, menantang Richard yang selama ini menjadi idola mereka.

“RICHARD!” bentak Kayla.

Richard menarik napas sangat panjang, tapi membuang wajahnya semakin jauh dari mereka.

“Pengecut. Bahkan aku tak tahu kenapa kau ada di sini,” kata Kayla pedas. “Kalau kau memang hanya memikirkan dirimu sendiri saja, Richard, seharusnya kau berada di rumahmu dan menikmati kenyataan betapa seorang korbannya dirimu. Iya. Aku tahu, kau berpikir adalah korban, padahal sebenarnya kaulah penyebab semua ini. Kau menyalahkanku karena merusak rencanamu untuk hidup tenang di antara kami semua.”

“Kau menyukai Julie, tapi kau malah memacari Cathy. Aku tak pernah mengerti alasanmu yang satu itu,” kata Kayla. “Kau menyalahkanku karena membocorkan rahasiamu. Tapi yang terjadi sebenarnya adalah aku hanya ingin menyelamatkan sahabat-sahabatku sebelum kau menjerumuskan mereka ke dalam jurang yang lebih jauh lagi. Karena kau tak pernah benar-benar peduli pada mereka sama sekali. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Cathy memang egois. Dan kau—adalah yang paling egois.”

“Kau tahu apa yang paling tidak kusukai darimu? INI. SIKAPMU YANG INI.” Kayla mencemoohnya tanpa ragu-ragu. “Sikap diammu adalah pilihan yang paling buruk di antara semua pilihan yang ada. Sikapmu ini sungguh-sungguh mengecewakan. Betapa tidak dewasanya seorang Richard Soulwind dan betapa kekanak-kanakkannya setiap reaksi yang kau tunjukkan. Lihat? Kalian bisa lihat, teman-teman, pangeran yang kalian puja-puja selama ini, hanyalah seorang pengecut!”

Nick memotong dengan tidak sabar. “Wow. Tunggu! Tunggu dulu! Dia tidak seburuk yang kalian pikirkan.”

“Lalu kenapa dia hanya diam saja dan tidak meluruskan ucapanku?” tanya Kayla.

Nick memandang ke arah Richard yang tidak mengubah sikapnya sama sekali. “Dia.. Yeah, dia—kau tahu, dia itu, kompleks.”

Nick berusaha membujuk Richard untuk berbicara pada mereka. Tapi Richard masih tidak ingin mengatakan sepatah kata pun. Posisi ini membuat Nick merasa serba salah.

“Dia tidak percaya padamu, Kay. Itu masalahnya,” kata Nick. “Dan sebelum kau memutuskan untuk pergi, Kay, yang harus kau tahu dia tetap tidak akan berbicara apa-apa pada kalian. Dia itu—umm, yeah—bagaimana mengatakannya, ya? Dia memang orangnya seperti ini. Sangat sulit berbicara. Aku saja susah setengah mati membuatnya mengeluarkan suara. Rasanya seperti ngobrol dengan dinding. Kau tahu, kan?”

Nick menghembuskan napas seperti orang kelelahan.

“Begini saja. Richard, biar aku yang berbicara untukmu. Aku akan menjelaskan apa yang tidak mereka ketahui, supaya mereka tidak salah paham lagi padamu. Kenapa? Karena aku gemas! Aku tidak bisa melihat mereka memperlakukanmu seperti ini. Kenapa kau diam saja, sih??”

“Apa yang kami tidak ketahui?” tanya Jessie, mengernyitkan wajahnya.

“Sebenarnya, ini rahasia antara aku dengan Richard. Tapi—” Nick memandang Richard yang masih membuang muka. Ia menghela napas panjang. “Richard. Kalau kau masih diam saja, aku benar-benar akan membocorkan ini, kau tahu?”

Gadis-gadis itu mulai penasaran.

“Baiklah! Karena kau diam saja, jadi kuanggap kau mengizinkan,” kata Nick gerah. “Begini, Ladies. Sebenarnya Richard tidak sedingin dan sejahat yang kalian pikirkan. Dia sadar kalau dia sudah merusak persahabatan kalian, tapi yeah—karena kepribadiannya yang kompleks—dia tidak bisa mengungkapkan rasa bersalahnya dengan baik. Dia menghindar dari kalian, aku tahu itu memang bukan tindakan yang bertanggungjawab, tapi yeah lagi-lagi, itu memang kelemahannya. Itu kelemahan Richard. Kenyataannya, dia itu memang orang yang sangat sensitif. Ini menurut pengamatanku. Sekali lagi. Bukan Richard yang bilang, tapi ini hasil pengamatanku. Dia itu sangat sensitif, seperti anak perempuan.”

Richard menoleh kaget.

“Apa? Kau mau protes?” kata Nick. “Menurutku kau memang seperti anak perempuan. Cengeng. Banci. Akui saja. Ya kan? Coba bantah aku kalau kau tidak setuju.”

Richard membuang mukanya lagi.

“Dia menyukai Julie dari dulu,” lanjut Nick. “Lebih awal daripada yang kita bisa perkirakan. Dan kenapa dia tidak langsung memacari Julie saja? Sederhana. Karena itu JULIE. The Unbeatable. SI MUSTAHIL. Kurasa Richard frustasi dengan rasa sukanya pada Julie, atau karena selama ini dia tidak pernah harus mengejar anak perempuan sama sekali. Mungkin Julie cinta pertamanya? Entahlah, aku tak tahu. Si Muka Dinding ini tak pernah mau mengakuinya padaku. Yang jelas, aku tahu Julie telah membuatnya kesulitan, karena selama ini dia terbiasa dikejar-kejar anak perempuan, bukan sebaliknya. Kau terbiasa digila-gilai oleh gadis-gadis yang rela melakukan apa pun untukmu, lalu kau malah jatuh cinta dengan SI MUSTAHIL? Oh. Kalian bisa bayangkan betapa konflik di hatinya saat ini. Segala kemudahan dengan wajah tampan yang dimilikinya langsung menghilang begitu menghadapi Julie—aku bisa memahaminya, sebagai sesama orang tampan.”

“Seharusnya tidak ada yang bisa menyalahkan kalau akhirnya Richard memilih Cathy. Julie mustahil. Sementara, Cathy sangat cantik dan benar-benar tergila-gila pada Richard. Richard bilang padaku kalau ia memutuskan untuk melupakan Julie dan mencintai Cathy. Ini sungguh-sungguh. Richard memang ingin memilih Cathy,” kata Nick pada Kayla. “Sampai akhirnya kau merusak rencananya. Kuakui, Kay, sebenarnya ini memang bukan rencana yang baik juga. Bukannya melupakan Julie, aku tahu dia justru malah semakin menyukai Julie sejak mereka saling berdekatan. Bodoh. Drama ini sangat bodoh. Karena kecemburuannya pada Jerry dan Julie-lah yang membuatku akhirnya menyadari siapa yang disukai Richard sebenarnya. Susah payah aku memintanya mengakui rahasianya, Kay. Jadi bukan kau saja yang merasa kesulitan menaklukkan Si Kepala Batu ini.”

Kayla menggeleng tidak simpatik.

“Itu tetap tak membuatku terkesan dengan sikap yang dipilihnya,” suara Kayla terdengar sarkastis.

“Benar sekali. Kau benar. Aku juga tidak terkesan,” imbuh Nick. “Tapi yang harus kalian ketahui adalah—dia berusaha memperbaiki kesalahannya dengan caranya yang ia mengerti. Dia ingin menyatukan kalian lagi, dengan kemampuan yang dia miliki. Dia ingin menolong Cathy dari Emma dan membuat Julie dan Cathy berbaikan kembali. Video penyiksaan itu? Itu dari Richard. Richard yang memberikannya pada Julie.”

“Apa?”

Sejenak, terdengar suara bergemuruh setelah Nick menyelesaikan kalimatnya barusan. Cathy melayangkan pandangan haru ke arah Richard, meskipun Richard tak menatapnya kembali.

“Benarkah?” tanya Cathy.

Nick mengangguk. “Ya. Selama beberapa hari terakhir ini, ia berkeliling dan mewawancarai semua anak perempuan di kelas Dua Belas yang memiliki hubungan dengan Emma. Aku tak tahu bagaimana dia melakukannya. Tapi akhirnya salah satu dari anak perempuan itu memberikannya sebuah petunjuk yang sangat penting. Seseorang pernah merekam video Tania Lawless! Video itu—lagi-lagi aku tak tahu bagaimana dia mendapatkannya, dia tidak pernah mau bilang—adalah bukti kunci yang bisa mengakhiri kejahatan Emma.”

Lucy terlihat bingung.

“Bukankah selama ini tidak pernah ada seorang pun yang bisa merekam video itu? Setahuku, Emma sangat berhati-hati dengan semua tindakannya,” tanya Lucy. “Dan Richard harus mencari tahu barang bukti itu tanpa ketahuan Emma sama sekali.”

“Benar. Sial! Bagaimana kau melakukannya, Richard? Kau bisa membuatku mati penasaran.” Nick menggerutu.

“Video itu membuat Emma sangat marah,” kata Cathy. “Dia benar-benar marah. Aku tak pernah melihat dia semarah itu sebelumnya. Video itu bahkan bisa mengakhiri beasiswanya di luar negeri.”

“Itulah Richard. Pintar. Dia tak perlu menunjukkan perasaannya yang cengeng dan seperti anak perempuan itu untuk menyelesaikan masalah yang dibuatnya. Hanya saja, dia tidak pandai menyatakan apa yang ada di pikirannya, semuanya disimpan sendiri, sehingga kalian selalu salah paham padanya,” kata Nick sambil bersungut-sungut. “Kalau saja aku bukan orang tersabar sedunia, aku juga mungkin akan menjadi gila berteman dengan orang semisterius dia.”

“Lalu, apa rencana Richard setelah ini?” tanya Cassandra.

Nick mengangkat pundak.

“Aku tak tahu. Tanya saja sendiri,” kata Nick. “Yang kutahu, seharusnya video itu menjadi bahan berita yang akan diperbincangkan Richard dengan Jerry. Kenapa Julie sampai memilikinya hari ini? Aku tak tahu. Aku tak bisa membaca pikiran dia. Tanya saja sana. Itu pun kalau Richard mau menjawab.”

Gadis-gadis itu mulai melihat Richard dengan sisi yang berbeda. Lekukan wajah anak laki-laki itu, yang menolak memandang ke arah mereka, telah mencetak siluet yang diciptakan sinar lampu taman di keremangan malam itu. Kulitnya bertemu dengan dinginnya angin, namun tak sedikit pun membuatnya bergidik. Matanya yang memandang jauh ke cakrawala, terlihat kesepian.

Nick berinisiatif menyelesaikan ini untuk Richard. Anak laki-laki itu sudah cukup menderita dengan hukuman yang diterimanya selama ini. Dia pantas mendapatkan penghargaan yang lebih baik.

“Atas nama Richard, aku ingin kalian tahu, Richard meminta maaf atas semua yang dilakukannya. Dia ingin menyampaikannya langsung, tapi kalian tahu kan, dia punya masalah dengan kepribadiannya yang—” kata Nick.

“Selama bukan Richard yang mengucapkan itu secara langsung, aku tetap tidak akan memaafkannya,” tukas Kayla tidak puas. “Nick, kau bisa berkata apa saja untuk memperbagus image Richard di mata kami, tapi yang kutahu, Richard telah menyakiti Julie. Dan dialah penyebab kenapa Julie terbaring di rumah sakit saat ini. Sifat pengecutnya itulah yang telah mencelakakan Julie—”

Aku minta maaf.

Richard menoleh ke arah mereka. Matanya yang biru seperti air laut menatap Kayla dengan pandangan yang sedih dan lembut.

“Aku minta maaf, Kayla,” ucapnya sekali lagi. Suaranya terdengar pelan dan pilu. “Aku minta maaf pada kalian karena telah menyebabkan keonaran ini. Aku sangat bersalah pada Cathy, Julie, juga padamu, Cassandra, Lucy, dan Jessie. Kau benar. Semua ini kesalahanku. Aku tidak akan mengingkari apa pun yang kau katakan tentangku. Semuanya benar.”

Gadis-gadis itu terdiam kaku. Bulu kuduk mereka bergetar hebat begitu mendengar Richard bersuara. Entah kenapa, amarah yang tadi menghantui mereka menguap setelah mendengar suara Richard yang sangat lembut.

“Jika diperbolehkan, aku ingin bicara berdua saja dengan Cathy,” kata Richard. Pandangan halusnya selembut beledu. “Kumohon.”

Cathy membuka mulutnya tanpa berkata-kata.

 

***

BACA SELANJUTNYA >>


Catatan dari Naya:

Update berikutnya adalah obrolan Cathy dan Richard. Kira-kira, apa yang ingin kalian tanyakan ke Richard? Apa misteri yang menurut kalian ingin dijawab Richard nanti..? Apa yang masih bikin kalian penasaran sama Richard?

Tulis di bagian komentar, yaa? Siapa tahuu, nanti Richard mau menjawabnya! Hehehe.

Ditunggu ya! 😉

[PEMESANAN] Novel Eternal Flame – Naya Corath

Leave a comment Standar

Halo semua! 😀

Pre-order untuk novel terbaruku sudah dibuka, ya. Pre-order sudah dibuka sejak seminggu yang lalu sampai tanggal 26 November 2015 (HARI INI TERAKHIR), kalian bisa memesan novel ini dengan harga diskon 10% dari harga toko buku.

Harga pre-order: Rp49.000 (excl. ongkos kirim)
Harga normal di toko buku: Rp54.800

Keuntungan lain PRE-ORDER:

  1. Buku dikirim ke alamat rumah, gak perlu keluar2 tenaga kalo kalian mager ke toko buku.
  2. Konsultasi langsung denganku, kalau mau sharing-sharing tentang proses di balik pembuatan buku sampai bisa diterbitkan (boleh ngobrol via PM)
  3. Boleh spesial request mau minta ditulisin sesuatu, atau digambarin sesuatu di buku 😀
  4. Tanda tangan penulis 😀
    Boleh request merchandise yang lainnya, hehe kalo kalian pinter ngerayu aku. Kadang-kadang suka kuselipin bonus kejutan. 😛
  5. Novel ETERNAL FLAME ini adalah novel kolaborasi 5 penulis Elex Media: Kristina Yovita, Dheean Rheaan, Nurisya Febrianti, dan Susi Lestari. Novel ini diterbitkan oleh penerbit Elex Media dan akan tersedia di seluruh toko buku di Gramedia, mulai tanggal 30 NOVEMBER 2015. (akhir bulan ini)

Novel ETERNAL FLAME menjadi pemenang outline novel terbaik pada acara “Berbagi Cerita Lewat Kata” yang diadakan oleh Elex Media pada Februari 2015 yang lalu. Ditulis bersama-sama dengan plot yang sama (bukan kumcer, tapi satu novel), berisi kisah perjalanan dan perjuangan cinta keenam insan muda yang dipertemukan oleh sebuah benang merah yang sama. Gaya menulisku juga cukup beda dibandingkan yang biasanya kutulis di Friday’s Spot. Di sini, aku menulis dengan style yang lebih romantis. Gimana isinya? Gimana jadinya hasil kolaborasi 5 kepala dengan gaya menulis yang saling berbeda ini? 😀

Eternal Flame fix

Sedikit Behind The Scene tentang pembuatan novel ini pernah kutulis di blogku:

http://nayacorath.com/…/behind-the-scene-novel-eternal-fla…/

Ke depannya, aku akan lebih banyak lagi sharing pada kalian, apa saja proses yang kulalui bersama dengan keempat teman-teman penulis yang lain saat mengerjakan novel ini. Mulai dari proses mengenal editor, brainstorming ide, kolaborasi yang penuh warna karena kelima penulis ini tinggal di lima kota yang berbeda, sampai akhirnya menjadi sebuah buku yang bisa dibaca oleh banyak orang.

Tapi sebelum itu, silakan pre-order novel ini yaa supaya kalian nanti bisa mengerti apa yang kuceritakan tentang kisah di balik penulisan buku ini dan proses penerbitan hingga di toko buku. Tenang aja.. Aku orangnya gak pelit ilmu kok.. Hehehe..

Yang mau pesan, boleh komen langsung, atau hubungi aku melalui e-mail nayacorath@gmail.com. Oh ya, penawaran pre-order ini hanya dibuka sampai tanggal 26 November 2015. ( HARI INI TERAKHIR ) Setelah tanggal 26 November, penawaran ini aku tutup.

Terima kasih… ^_^

‪#‎EternalFlame ‬‪#‎OpenPO‬‪ #‎Launching30November‬‪ #‎ClosePO26November‬‪ #‎Novel ‬‪#‎Elex‬

 

PS: Jika kalian terlambat baca pesan ini (lewat dari masa pre-order), coba hubungi aku langsung ya. Biasanya aku suka punya stok berlebih.

23 – Pengakuan (2)

Comments 37 Standar

Cathy menunggu di depan pintu ruang operasi. Matanya memerah dan membengkak. Beberapa siswa yang menemani mengantar Julie ke rumah sakit duduk di deretan kursi yang lain, tak berani mengganggunya. Gadis itu terus-menerus menangis saat mereka baru tiba di rumah sakit. Tapi sekarang dia hanya duduk diam saja, menunduk.

Lily Light pun telah tiba sejak sepuluh menit sebelumnya. Ia duduk di kursi yang berada tak jauh dari Cathy. Wanita itu duduk gelisah sambil meneteskan air mata, dan dihibur oleh siswa-siswa yang lain.

Nick, Kayla, Jessie, dan Lucy datang. Mereka berlari dengan panik, seperti orang yang kebakaran jenggot, dan segera menghampiri Lily. Wanita itu menyambut mereka dengan raut wajah sangat sedih.

“Kayla,” kata Lily sambil merangkul Kayla yang menyambar pelukannya dengan cepat.

“Apa yang terjadi, Mrs.Light?” tanya Kayla kemudian.

“Teman-teman kalian bilang, Julie telah menolong Ms.Pierre dari kecelakaan di sekolah,” kata Lily. Wanita itu menghela napas. Ia mencoba tersenyum, tapi ia tidak bisa menahan air mata yang tumpah di pipi kirinya. “Julie mendorongnya agar tidak tertabrak mobil, namun ia justru menjadi korban. Niatnya baik–anak itu,” Lily tertawa pahit. “Tapi selalu saja ceroboh. Aku yakin dia tersandung kakinya sendiri saat melakukan itu.”

Jessie melihat Cathy di ujung sana. Ia melotot marah. “KAU!” Ia berlari dan menyambar gadis itu dengan wajah sangat murka. Suasana berubah menjadi sangat kacau saat Jessie menarik kerah baju Cathy dengan kasar. Cathy yang tadinya dalam posisi duduk, sekarang terseret berdiri oleh tangan Jessie, yang sudah tidak peduli lagi pada kondisi tubuh gadis itu.

Cathy terkejut. Ia terjatuh.

“Apa yang kau lakukan pada Julie! Kurang ajar!” bentak Jessie, berusaha mengangkat tubuh Cathy dan memukulnya. Kayla tercengang, langsung bertindak melepaskan tangan kiri Jessie yang sudah setengah jalan hampir membuat kancing baju Cathy putus. Cathy terpekik.

“Jessie!” teriak Kayla.

Semua orang di sana tampak kaget dengan insiden itu. Nick dan beberapa siswa lain yang baru menyadari apa yang terjadi segera membantu Kayla menangkap Jessie. Jessie sempat memukul Cathy beberapa kali, sebelum akhirnya mereka berhasil memisahkan kedua orang itu, tapi Jessie berteriak tidak puas penuh sumpah serapah.

“Tidak tahu malu! Teman macam apa kau, IBLIS??! Bisa-bisanya Julie mau bersahabat dengan orang jahat seperti kau, Cathy! Gadis jahat!! GADIS JAHAT!!”

Cathy segera duduk kembali, menunduk, dan menangis. Ia menutup mukanya sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dari mereka bisa melihat wajahnya, namun telapak tangannya itu tidak bisa menyembunyikan suara tangis kencangnya yang memilukan. Rasa sakit di wajahnya setelah ditampar Jessie barusan, tidak lebih sakit daripada rasa sakit di hatinya setelah mendengar kata-kata Jessie.

“IBLIS!!” runtut Jessie sekali lagi. “Mau sampai kapan kau menyakiti Julie?? SAMPAI JULIE MATI?? HAH??? BELUM PUAS KALAU JULIE BELUM MATI??? AKU BENCI KAU SETENGAH MATI!!!! PERGILAH KE NERAKA!!”

Lucy bergidik ngeri.

“JESSIE! TENANG!” Kayla mendengking. “Kau tidak malu apa? Di sini ada Mrs.Light. Kau bisa membuatnya tambah sedih. Diamlah!”

Jessie meringis dan menggeram tanpa henti. Dadanya naik-turun karena napasnya sangat pendek, menahan air mata kekesalan yang tidak henti-hentinya diuji oleh degupan jantungnya. “Si Sapi bodoh itu.. Julie bodoh.. Bodoh…”

“Tenanglah, Jessie,” kata Kayla dengan suara lebih lembut. Ia mengusap punggung Jessie dan menggenggam tangannya dengan erat. “Tenanglah. Dinginkan kepalamu.”

Walaupun tampak lebih tenang daripada Jessie, Kayla pun sedang susah payah mengendalikan dirinya sendiri. Julie adalah sahabat terbaiknya sejak bertahun-tahun lamanya, dan kekecewaannya terhadap Cathy sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Untuk kali ini, ia tidak tertarik untuk bersikap lebih ramah terhadap Cathy. Ia juga marah.

“Nick,” kata Kayla pada Nick. Nick mengangguk. Ia memeluk Jessie dan berusaha menenangkan gadis itu dengan kata-kata lembut.

“Hey, sudahlah, Dolphin,” kata Nick sambil mengusap kepala Jessie.

Cassandra datang tak lama kemudian. Sungguh pemandangan yang aneh, saat Jessie dan Kayla berdiri tepat di seberang Cathy dengan wajah tidak bersahabat, Lucy berdiri pucat dalam posisi serba salah, Nick berusaha menenangkan Jessie namun tidak seorang pun yang melakukan hal yang sama terhadap Cathy. Gadis itu dibiarkan sendirian, entah karena kebencian terhadapnya, atau karena takut padanya.

Beberapa siswa yang tadi ikut membantu memisahkan Jessie sudah bergerak mundur, memberikan ruang pada mereka untuk menenangkan diri. Lily Light pun hanya menyaksikan pemandangan itu dengan berdiam saja–dari gelagat Julie yang aneh akhir-akhir ini, ia sudah yakin kalau Julie dan teman-temannya pasti sedang bermasalah. Kejadian hari ini membuktikan dugaannya benar.

Cassandra terlihat bingung. Ia berjalan dengan ragu-ragu ke arah Lily, Jessie, Nick, Lucy, dan Kayla, namun langsung mengurungkan niatnya mendekati mereka saat mata Jessie berkilat kejam menghakiminya. Ia pun bergerak mendekati Cathy.

“Cathy,” kata Cassandra ragu-ragu. Alisnya berkerut resah.

Cathy tidak menjawab. Suara tangisan Cathy mengecil, namun ia masih menutup mukanya dan menunduk di atas kursinya. Cassandra memanggil Cathy sekali lagi, menyentuh pundaknya. Gadis itu dengan cepat membuang tangan Cassandra dari bahunya dan menutup mukanya kembali.

Jessie masih memandang Cathy dan Cassandra dengan tatapan kebencian yang dipeliharanya sampai ubun-ubun. Ia benar-benar benci kedua gadis itu. Julie adalah satu-satunya alasan yang menyatukan mereka semua. Dan tanpa Julie, tidak ada lagi yang bisa membuatnya mentoleransi kehadiran mereka di dalam hidupnya. Ia benar-benar muak.

“Kenapa ada mereka di sini? Mereka bukan sahabat Julie, mereka orang asing,” kata Jessie dingin.

Cassandra mematung.

Lucy tak dapat menahan rasa ibanya pada mereka. Ia menatap Cassandra dengan lemah, sebagai satu-satunya orang yang mau bersimpati terhadap Cassandra sekarang, Lucy memberikan sedikit gerakan tangannya yang melambai untuk mengajak Cassandra mendekat, sambil mengangguk tipis–takut ketahuan Jessie dan Kayla. Ia tak dapat menjelaskan betapa sedih dan bimbangnya wajah Cassandra saat itu. Gadis itu seperti sebentar lagi akan menangis. Sementara itu, Cathy masih menutup mukanya.

Jessie mengepalkan tangannya dengan geram. Kalau saja mereka tidak melerainya, dia tadi sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menghajar Cathy sampai babak belur. Dia sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan gadis memuakkan itu. Dan Cassandra yang munafik. Mereka berdua adalah yang terburuk di antara yang terburuk, yang pernah ada di dunia ini.

“JANGAN PERNAH BERPIKIR AKU AKAN MENGIZINKAN KALIAN MENDEKATI JULIE LAGI. AKU TAK AKAN SEGAN-SEGAN MENAMP-,” kata Jessie.

Seorang perawat keluar dari ruangan operasi, membuat suara Jessie terhenti. Semua orang yang berada di sana langsung menghamburkan perhatian mereka pada perawat itu.

Perawat itu mengerutkan keningnya dan berkata dengan wajah kecut. “Saya minta kalian tenang. Kami membutuhkan ketenangan untuk operasi. Kalau Anda semua ingin membuat kegaduhan, harap lakukan di luar gedung rumah sakit. Mengerti? Terima kasih.” Perawat itu masuk kembali.

“Sudah kubilang, kan,” kata Kayla pada Jessie. Jessie cemberut.

Mereka berempat kembali menghampiri Lily dan berniat menghiburnya. Mereka sebenarnya sudah cukup tenang, sampai suatu ketika, salah seorang di antara siswa Nimber yang lain, Molly Alto, berinisiatif menceritakan lebih detail kejadian tadi dengan nada provokatif. “Sebelum kecelakaan, Cathy dan Julie bertengkar hebat. Mereka saling berteriak, berkejar-kejaran, Julie bahkan sampai menangis di depan Cathy. Mereka membicarakan Richard tanpa henti. Dan–ada luka bakar di tangan Julie tadi, sebesar ini,” Molly menunjukkan pergelangan tangannya.

“Apa?” Mereka terperanjat.

“Tunggu dulu, Julie menangis? Bagaimana mungkin?” kata Jessie meloncat kaget. Molly mengangguk mantap. Jessie terperangah, tidak dapat sedikit pun merasionalisasikan hal itu. Setahunya, Julie tidak pernah menangis seumur hidupnya. Jessie menggelegak lagi. Ia melempar pandangan bengis ke arah Cathy. “Ini keterlaluan.”

“Jess,” Kayla menahan tangan Jessie supaya anak itu tidak pergi ke mana-mana. Jessie mengamuk kesal.

“Dan–luka bakar?” tanya Lucy.

Molly mengangguk. “Sebesar telur. Lukanya benar-benar baru. Aku tak tahu apa yang dilakukan Cathy terhadap Julie sebelum kejadian tadi, tapi kurasa Cathy membakar tangan Julie demi membalas dendam karena Julie telah merebut Richard. Dia memang jahat–”

“Molly, Molly.. Ini bukan waktu yang tepat,” sanggah Kayla secepat kilat. “Kumohon jangan memperburuk keadaan. Mrs.Light, maafkan aku, karena kurasa ini tindakan yang paling tepat dilakukan. Aku juga ingin tahu lebih banyak, tapi saat ini kita semua berada pada situasi emosi yang tidak baik. Aku sendiri tidak tahu bagaimana reaksiku nanti.” Kayla menghela napas. “Untuk saat ini sebaiknya kita tidak membicarakan ini, setidaknya sampai Julie sadarkan diri. Maafkan aku, Mrs. Light. Hanya saja, Jessie.. dia–”

Lily mengangguk sambil tersenyum. “Aku mengerti.”

Permintaan barusan membuat mereka akhirnya memutuskan untuk hening cukup lama. Mereka hanya menunggu dalam rasa was-was yang tidak dapat mereka kendalikan. Tiga puluh lima menit berlalu namun lampu emergensi di rungan operasi itu masih tetap menyala. Belum ada kabar.

Gadis-gadis tersebut mencoba menguatkan Lily. Entah bagaimana caranya, kehadiran mereka telah membuat nuansa optimisme akan kesembuhan Julie meningkat tajam. Lily pun sudah cukup tegar dan tidak menangis lagi. Ia tersenyum lebar saat Kayla berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

Kayla sekarang memperhatikan sekelilingnya. Beberapa siswa yang tadi datang sudah meminta izin pada Lily untuk pulang sebentar–sebagian dari mereka berjanji akan kembali lagi. Nick masih menghibur Jessie yang sudah mulai reda, beberapa kali mencoba bercanda, tapi hanya berhasil membuat Jessie mencubitnya, karena lawakannya yang tidak lucu. Lucy terus-menerus melihat ke seberang mereka, tempat Cathy dan Cassandra berada.

Posisi mereka tidak berubah sama sekali.

Cassandra masih berdiri di sana, bahkan meskipun banyak kursi kosong di tempat itu. Ia melihat ke arah mereka dengan bibir yang bergetar. Dan saat mata Kayla dan Cassandra bertemu, Cassandra meneteskan air mata.

Lucy sudah tidak bisa lagi melihat situasi seperti ini. Ia menoleh ke arah Kayla, memohon persetujuan. Kayla diam sebentar. Dalam pikiran singkat dan kejernihan otak yang pulih, ia mengangguk.

Lucy terkejut menerima jawaban yang tidak diduga-duga itu. Tanpa berlama-lama lagi ia langsung berbalik dan membuka tangannya untuk mengajak Cassandra ke arah mereka. Cassandra juga tak kalah terkejutnya. Ia segera berlari secepat kilat menyambut pelukan Lucy. Mereka berpelukan erat sekali.

“Apa yang kalian lakukan??” omel Jessie.

Cassandra menangis sesegukan dalam pelukan Lucy. Lucy tak kuasa terhanyut dalam situasi itu, menangis juga.

“Maafkan aku, maafkan aku–” Suara Cassandra tidak begitu jelas terdengar, namun jelas menyayat hati.

“Aku sangat rindu pada kalian.”

Jessie menyaksikan kejadian itu sambil mendengus skeptis. Matanya menyipit curiga. Dikatupkannya rahangnya rapat-rapat, seolah tidak ingin merasakan apa pun yang bisa mengubah pendiriannya.

Bibirnya mengerucut panjang saat Lucy menyelipkan jari-jemarinya di antara rambut keriting Cassandra. Pemandangan mengingatkannya pada kejadian di Ava Shopping Avenue, saat dia dan Julie berebutan jepit rambut yang dipakai Cassandra, sampai rambut Cassandra rontok sebagian di tangan Julie dan mereka tertawa. Bayangan kebersamaan mereka di masa lalu benar-benar membuat hatinya sakit.

Jessie terdiam, lalu melihat ke arah Kayla. Kayla balas menatapnya. Mereka berpandang-pandangan cukup lama, seolah-olah dapat membaca pikiran satu sama lain.

Setelah gerakan isyarat itu, ia menjauh dari Nick dan kini bergerak memeluk Lucy dan Cassandra tanpa antisipasi dari mereka.

“Kau tahu, Cassandra. Ini kulakukan untuk Julie,” kata Jessie tanpa basa-basi lagi. Ia memeluk kedua sahabatnya itu dengan sama eratnya. Ia dan Kayla telah sepakat ingin mengakhiri pertikaian ini.

Maka suara tangisan itu semakin kencang.

Kayla, yang tidak bergabung dengan mereka, menoleh ke arah Cathy. Gadis itu masih menutup mukanya, namun tubuhnya terhentak beberapa kali. Kayla pun bangkit menemui gadis itu. Ia memilih duduk di sebelah Cathy. Dengan kebijaksanaannya yang telah kembali, ia pun memeluk punggung sahabatnya yang menelungkup itu.

Tubuh Cathy berguncang hebat.

“Kayla.” Suara serak itu muncul juga, saat ia merasakan dekapan hangat Kayla. Nadanya benar-benar sedih memilukan hati. Kehadiran Kayla di sisinya saat ini jelas-jelas mempengaruhi emosionalnya.

“Seharusnya aku saja yang mati.”

Cathy akhirnya mengangkat wajahnya. Wajahnya sudah benar-benar bengkak dan merah, air mata membanjiri pipinya. Ia menatap Kayla lekat-lekat. “Dia menolongku dari Emma, Kay. Julie menyelamatkanku.”

Kayla terdiam. Sejujurnya mereka tidak pernah melihat Cathy seperti ini. Gadis itu terlihat begitu lemah dan rapuh. Image yang sangat berbeda dari Cathy yang dulu pernah dikenalnya, seperti orang yang berbeda. Sepanjang pertemanan mereka, Cathy selalu terlihat paling kuat, tak pernah sedikitpun memperlihatkan kesedihan atau masalahnya pada teman-temannya. Dan kini, gadis itu memperlihatkan sisi gelap yang selalu disembunyikannya selama ini dari mereka.

Kayla memilih untuk mendengarkan dengan seksama.

“Sepanjang hidupku, tak ada orang benar-benar yang menyayangi aku. Tak pernah ada, Kay. Mereka membuangku. Tidak ada orang yang melakukan apa yang Julie lakukan untukku,” kata Cathy terisak-isak. “Dan aku malah menyia-nyiakannya. Aku tadi menginginkannya mati! KENAPA?? KENAPA AKU JAHAT! AKU TAK INGIN JULIE MATI.”

“Teman macam apa aku ini? Aku egois. Aku jahat. Jessie benar, aku memang tak pantas jadi sahabatnya. Aku selalu jahat dan iri padanya. Dan sekarang, dia malah mengorbankan nyawanya untukku. Apa lagi yang kuinginkan darinya? Apa lagi yang harus kurebut dari Julie? Kenapa aku seperti ini!”

“Aku—” Cathy meneteskan air matanya. “—memang jahat. Kalian benar. Aku sangat jahat dan egois. Seharusnya memang aku saja yang mati. Seharusnya aku.”

“Jangan berkata seperti itu,” kata Jessie tiba-tiba. Dia, Lucy, dan Cassandra kini sudah berada di hadapannya. “Kalau kau mati, aku juga pasti menangisi kepergianmu. Aku tak mau menangis untukmu, karena aku benci kau, Cath, jadi jangan sampai kau membuatku menangis karena merindukanmu.”

Cathy menatap Jessie dengan air mata menggenang. “Jessie.”

“Tenang saja, aku tidak akan memukulmu lagi. Aku juga tidak akan minta maaf, karena kau memang pantas mendapatkannya. Aku sudah ingin melakukannya dari dulu,” tukas Jessie datar. “Julie adalah sahabatku. Dia adalah orang yang paling baik yang pernah kukenal, dia selalu mendahulukan teman-temannya lebih daripada apa pun. Itu adalah kelemahan sekaligus kelebihannya. Dan aku sangat benci jika kau memperlakukan Julie dengan buruk, sementara Si Bodoh itu terus-menerus ingin bersahabat denganmu. Aku tak suka kau memanfaatkan kebaikan hatinya untuk memuaskan egoismemu. Iya, kau egois. Manja. Memuakkan. Hanya memikirkan dirimu sendiri.”

“Iya, kau benar,” kata Cathy lemah. Sudut mulutnya tertekuk ke bawah. “Selama ini aku memang egois. Aku minta maaf.”

“Berjanjilah kau tidak akan menyakiti Julie lagi. Berjanjilah sebanyak yang kau bisa, baru aku akan memaafkanmu,” kata Jessie, menandaskan ketegasan.

Cathy mengangguk pelan dan berbicara dengan suara isakan yang tertahan. “Aku berjanji tidak akan pernah melakukannya. Aku berjanji tidak akan pernah menyakitinya lagi, sampai kapan pun. Aku berjanji akan menjaga perasaannya seperti menjaga perasaanku sendiri. Aku berjanji akan memperlakukannya seperti saudara kandungku sendiri. Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan kebaikannya lagi. Aku berjanji–”

“Itu sudah cukup, Cath,” kata Kayla.

Cathy mulai menyeka air matanya. Rambutnya yang semrawut tidak dipedulikannya sama sekali. Kayla tersenyum.

“Rambutmu,” kata Kayla. “Kalau Julie lihat, dia pasti akan mengomentarinya. Apa yang biasanya diucapkannya, ya?”

“Rambut singa,” jawab Lucy dan Cassandra berbarengan.

“KEMOCENG BULU NAGA,” kata Jessie. “Kemarin anak bodoh itu mengucapkan kata-kata aneh itu saat menertawai rambut palsu Ms.Watson.”

Mereka tertawa meledak.

“Kuharap Julie baik-baik saja,” kata Cassandra. Lucy dan Kayla mengangguk. Jessie menjawab dengan keyakinan penuh.

“Jangan khawatir. Si Bodoh itu tahan banting. Dia tidak akan kenapa-napa.”

Cathy hanya tersenyum saja. Kesedihan masih terpancar jelas di matanya. Kayla memperhatikan itu dan mencoba menghiburnya.

“Aku tahu, kalau Julie ada di sini, dia pasti juga ingin memelukmu, Cath,” kata Kayla kemudian. “Atas nama Julie-peluklah kami, Cath. Kau harus tahu kalau kami selalu menyayangimu.”

Mereka berlima sekarang saling berpelukan.

Nick, yang sedari tadi hanya bisa menjadi pengamat yang baik, tersenyum lega saat melihat kelompok yang disukainya ini akhirnya berbaikan kembali. Kejadian yang menimpa Julie memang benar-benar tragis, tapi pada akhirnya gadis itulah yang menyatukan mereka. Sejak dulu sampai sekarang, gadis itu dengan pesona anehnya selalu dapat memukaunya dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.

Nick baru ingat, ponselnya bergetar terus dari tadi. Sebelum ia sempat menelepon balik orang yang menghubunginya tanpa henti itu, ternyata orang itu sudah tiba di sana. Orang itu segera menarik perhatian sekelilingnya dalam sekejap, meskipun dengan napas yang terengah-engah dan wajah pucat yang sangat khawatir.

Seorang anak laki-laki berkulit pualam, kini memandangi Nick dengan mata birunya yang khas.

***

BACA SELANJUTNYA >>