Kondisi Julie sudah membaik. Operasi berhasil dilakukan, tapi hanya pihak keluarga saja yang diizinkan masuk mengunjunginya. Kabar ini membuat mereka benar-benar lega, meskipun gadis-gadis The Lady Witches terpaksa tidak dapat mengunjungi Julie saat ini. Akhirnya, dengan hati yang terasa lebih ringan, mereka memutuskan untuk berkumpul di kursi batu yang terdapat di pekarangan belakang rumah sakit malam itu. Sebuah taman bunga berumput hijau luas yang sering dijadikan tempat refreshing bagi para pasien yang berjalan-jalan sore dengan kursi roda mereka.
“Teman-teman, maafkan aku,” kata Cathy.
Cathy berulang-ulang mengucapkan hal ini, sejak di ruangan tunggu gawat darurat, sampai-sampai Jessie eneg mendengarnya.
“Kau tidak perlu berkali-kali minta maaf, Cath. Kalau kau minta maaf lagi, aku bisa menggorok lehermu,” kata Jessie pongah. “Yang aku butuhkan sekarang justru sebuah penjelasan. Tentang kau dan Julie. Dan Cassandra. Terlalu banyak sikap kalian yang gagal kumengerti, dan aku—BUTUH PENJELASAN PANJANG.”
Cassandra ikut menimpali. “Aku juga minta maaf.”
Jessie memutar bola matanya.
“Justru itulah sebabnya kalian kukumpulkan di sini,” Kayla menambahkan. “Jessie benar. Kalian semua berhutang banyak penjelasan pada kami.” Kayla memilih duduk di batu yang bersebelahan dengan Cathy, agar dapat menyimak gadis itu dengan sebaik mungkin. “Tak hanya Cathy dan Cassandra saja yang berutang penjelasan. Juga Richard.”
Richard mendengar perkataan itu tapi tidak melihat ke arah Kayla. Sejak tiba di rumah sakit tadi, anak laki-laki ini hanya diam saja. Ia hanya memandangi Lily sebentar, lalu berbicara sedikit-sedikit pada Nick yang memberikan laporan. Selebihnya, anak laki-laki itu hanya tampak seperti patung yang mengasingkan diri. Ia merasa dirinya tidak pantas berada di antara mereka. Nick menghibur Richard dan mengajaknya untuk ikut dengan kelompok Jessie ke taman rumah sakit, meskipun awalnya gagasan ini mendapat penolakan dari Richard.
Anak laki-laki itu memilih duduk di bangku batu yang paling pinggir.
“Baiklah, mari kita mulai,” kata Kayla. Ia menyilangkan kaki dan menyentuh dagunya sambil memandang Cathy. “Hal pertama yang ingin kuketahui—kenapa kau meninggalkan kami?”
Cathy menelan ludahnya dan tersenyum manja. “Bukankah kalian sudah mengetahuinya? Apalagi kau, Kay. Kau kan punya semacam—” Cathy meraba-raba udara dengan telapak tangan terbuka, “—kemampuan psychic. Kau pintar mengobservasi. Kau bisa membaca pikiran semua orang, kan? Kau pasti sudah tahu alasanku.”
“Aku tahu, Cath. Tapi aku butuh kau mengatakannya,” kata Kayla.
“Mengatakannya? Untuk apa?” Cathy mengelak.
Kayla menghela napas penuh kesabaran.
“Cath. Aku ingin kita saling jujur mulai dari sekarang. Semua masalah ini berawal karena kita saling menyembunyikan rahasia.” Kayla berkata lebih keras. “Aku mungkin tahu alasanmu. Tapi aku tak tahu apa yang tersembunyi rapat-rapat di dalam hatimu. Cathy yang kulihat hari ini—bukan Cathy yang pernah kukenal. Cathy yang menangis begitu pilu, dia tak pernah ada sebelum hari ini. Kurasa inilah Cathy yang sebenarnya. Kau menyimpan suatu rahasia, dan kau menyembunyikannya dari kami, Cath.”
Ekspresi Cathy langsung berubah.
“Aku tidak bisa berdekatan dengan Julie,” kata Cathy kemudian. Ia mengucapkannya dengan sangat serius, lebih serius dari yang pernah mereka lihat selama ini. Kedua tangannya diletakkan di atas pangkuan, wajahnya lebih kaku dan datar daripada sebelumnya. “Itulah sebabnya aku meninggalkan kalian. Kalian teman-temannya Julie.”
Cathy menggeram rendah. Alisnya bertaut.
“Aku marah padanya karena merebut Richard dariku. Tapi yang baru kusadari belakangan, sebenarnya ada hal yang lebih mendalam lagi, yang menjadi alasanku yang sebenarnya.” Cathy berhenti sejenak.
“Aku iri padanya.”
Gadis-gadis itu tersentak.
“Kenapa?” tanya Lucy.
“Karena dia memiliki semua yang kuinginkan!” jawab Cathy dengan berapi-api. Keningnya mengerut marah dan napasnya mulai pendek-pendek. “Keluarga yang sempurna! Ibu yang sangat akrab dengannya! Ayah yang mencintainya!” Bibir Cathy bergetar hebat. “Sedangkan aku tidak punya. Keluargaku berantakan. Tidak ada yang mencintaiku.”
Napas Cathy semakin memburu. Matanya yang berkaca-kaca dengan cepat menumpahkan setetes air mata. Gadis itu langsung menghapusnya.
“Aku tidak pernah menceritakan ini pada kalian. Ayahku yang tidak pernah kalian lihat? Dia tinggal di Jerman, dengan selingkuhannya. Dia meninggalkanku dan Mom tujuh tahun yang lalu. Bahkan meskipun aku sudah menangis keras-keras dan memeluk kakinya agar dia tetap tinggal demi aku, dia tetap saja memilih pergi.” Cathy meneteskan air matanya dan mengusapnya sekali lagi.
“Sejak mereka bercerai, aku tak pernah melihat wajahnya lagi. Dia pun tak pernah menghubungiku, bertanya seperti apa kabarku. Ia tak menyayangiku sama sekali—orang itu,” kata Cathy penuh kemarahan. “Dan aku hidup dengan kenyataan ayahku memilih perempuan lain dibandingkan aku. Mom bilang mereka sudah punya seorang puteri lagi di Jerman. Sempurna. Aku memang tidak pernah berharga baginya, sampai-sampai dia harus memiliki putri baru yang lebih membanggakan untuknya.”
Gadis-gadis itu menatap Cathy dengan tatapan yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Sebuah tatapan iba yang luar biasa. Cathy tidak pernah menceritakan tentang latar belakang keluarganya selama ini. Gadis itu selalu bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja, tidak pernah mengungkit sedikitpun kekecewaannya pada orangtuanya. Ini adalah pemandangan baru bagi mereka semua.
Jessie bertanya dengan penasaran, “Bukankan kau bilang ayahmu sedang pergi berbisnis di luar negeri?”
“Iya, memang dia pergi. Pergi untuk selamanya,” kata Cathy sinis.
Cathy melanjutkan ceritanya.
“Kalian juga tak pernah melihat ibuku, kan? Itu karena aku tidak mau kalian melihatnya. Dia sangat jauh dari gambaran ibu sempurna. Dia bukan ibunya Julie,” kata Cathy. “Aku selalu iri dengan kedekatan Julie dan ibunya, dengan kenakalan-kenakalan yang mereka lakukan—aku bahkan hampir tak pernah berbicara dengan ibuku lagi. Dia selalu tenggelam dalam pekerjaannya, hampir 24 jam, seperti tak punya kehidupan lain. Aku marah padanya, selalu menganggapnya musuhku sampai saat ini, tapi aku tahu dia melakukan itu untuk melupakan Dad. Dulu Mom malah lebih parah lagi, dia selalu mabuk-mabukan selama berbulan-bulan. Hidupnya berantakan. Dia lupa kalau dia masih punya aku. Dia lupa kalau kami masih punya satu sama lain.”
Gadis-gadis itu memandanginya dengan penuh simpati.
“Yah, apalah aku. Mungkin aku memang tidak cukup berharga untuk mereka,” Cathy berusaha tersenyum palsu. “Kupikir itu karena aku tidak cukup cantik. Aku harus lebih cantik daripada wanita yang merebut Dad, agar suatu saat dia sadar bahwa puteri kecilnya yang ada di sini, adalah hartanya yang paling berharga. Supaya suatu saat dia pulang.”
Tangisnya pecah.
“Aku tahu, selama ini aku bersikap semena-mena pada kalian. Juga pada semua anak laki-laki yang menyukaiku. Aku memang ingin mempermainkan mereka.” Cathy tertawa getir. “Tidak ada seorang pun yang boleh mempermainkan perasaanku! Dan jika kecantikan itu memang adalah jawaban, maka aku bersumpah akan menjadi gadis tercantik yang pernah ada di dunia ini! Kupastikan seluruh laki-laki akan bertekuklutut padaku! Tidak boleh ada yang meninggalkanku lagi. Tidak. Tidak. Aku sudah punya kecantikan yang mereka butuhkan.”
Cathy berhenti sebentar.
“Lalu aku bertemu Julie.” Dia tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
“Julie adalah misteri untukku. Dia tidak cantik. Dia biasa saja. Dia bahkan bodoh sekali. Tapi seluruh anak laki-laki menyukainya. KENAPA? Aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri, tapi tak pernah ingin mengakui kalau dia lebih baik dariku. Maksudku, aku lebih cantik darinya, kan?” cecar Cathy penuh tanda tanya. “Kenapa mereka menyukainya? Kenapa Julie mendapatkan semua perhatian itu? Kenapa Julie mendapatkan semua yang ingin kumiliki, tanpa bersusah payah sama sekali? Aku buta. Yah, aku buta oleh rasa cemburu, tapi aku tak pernah ingin mengakuinya di depan kalian—bahkan aku tidak ingin mengakuinya pada diriku sendiri! Mengakui ini sama saja seperti menuntut bahwa Tuhan tidak adil padaku. Dan aku benci itu.”
Cathy menurunkan intonasinya.
“Dan satu hal lagi yang membuatku benci pada Julie adalah—RICHARD.”
Seluruh mata memandang Richard. Richard melihat ke arah mereka sebentar, tapi selanjutnya memalingkan mukanya.
“Aku mencintaimu, Richard,” kata Cathy sungguh-sungguh. “Aku mencintaimu, dengan alasan yang tidak sama seperti mereka. Kau membuatku percaya kalau laki-laki sangat baik itu ada—walaupun yah, pada akhirnya kau malah menyakiti perasaanku. Kau sangat baik. Sopan dan lembut. Kau sangat berbeda dari ayahku. Kau memperhatikanku dengan tulus. Kau memberiku harapan. Tapi akhirnya kau malah meninggalkanku karena Julie. Itulah yang membuatku murka. Kalian bisa bayangkan perasaanku kan? Aku mengulangi kebodohan ibuku. Dan aku akhirnya marah pada Julie. Aku meninggalkan kalian, karena kalian adalah teman-teman Julie. Kebodohanku bertambah dua kali lipat. Aku adalah manusia terbodoh. Sekarang kupikir lagi, pantas saja semua orang meninggalkanku.”
Cathy sekarang melempar pandangannya ke arah Cassandra.
“Jangan salahkan Cassandra meninggalkan kalian, karena akulah yang memaksanya. Aku tahu Kay, kau dan Jessie tak mungkin mau meninggalkan Julie—dan Lucy, tanpa maksud apa-apa sama sekali, aku tidak mengajakmu karena yah, kau tahu kan kita berdua tidak begitu cocok? Itulah sebabnya aku hanya mengajak Cassandra dan menghindari kalian. Aku tidak mau berurusan dengan Julie lagi. Melihat wajahnya saja sudah membuatku marah pada diriku sendiri,” kata Cathy. Lucy tersenyum, mengangguk memaklumi. “Dan di sinilah aku. Berlari meninggalkan kenyataan, dan menjauhi teman-temanku, orang-orang yang mencintaiku. Bahkan Julie sampai mengejarku karena ingin memintaku kembali. Dan aku masih membencinya hanya karena seorang anak laki-laki? Betapa bodohnya.”
“Semua ini, akibat keegoisanku. Kalau saja aku tidak memaksakan kehendak, semuanya tidak akan jadi seperti ini!” kata Cathy meluap-luap. “Semua kemarahanku, aku melampiaskannya pada orang yang salah. Julie.” Cathy mendengus sedikit. “Dia memang sasaran empuk untuk dipersalahkan. Entah kenapa, dia menjadikan semuanya lebih mudah. Hidupnya terlalu sempurna. Rasa cemburuku pun ibarat mendapat minyak panas di tengah-tengah api yang membara. Lalu setelah semua kebaikan yang dia lakukan untukku, aku malah mencelakakannya. Betapa bodohnya aku?? Dan ini semua berawal dari kemarahanku pada orangtuaku. Aku berubah menjadi orang yang jahat.”
“Kenapa kau tidak pernah menceritakannya pada kami, Cath? Tentang orangtuamu?” tanya Kayla.
Cathy tertawa kecil. Matanya masih menyimpan kilatan marah yang berusaha ditahannya.
“Untuk apa? Untuk menunjukkan bahwa aku gadis lemah yang tidak berdaya diperlakukan demikian?” tanya Cathy dengan ekspresi retoris. “Sementara Julie bersenang-senang dengan ibunya setiap hari dan kalian tertawa membicarakannya. Tidak. Aku tidak ingin terlihat lemah. Aku lebih kuat daripada yang kalian duga. Aku sudah melalui ini dan aku tidak ingin menangis untuk ayahku yang bahkan tidak menginginkanku. Aku tidak butuh dia. Aku tidak butuh kalian kasihani. Aku bisa menjalani kehidupanku sendiri dan semua orang—semua orang menyukaiku. Tidak ada orang yang menyia-nyiakanku. Tidak ada seorang pun yang menyakiti hatiku. Hanya aku yang boleh melakukannya. Hanya aku yang boleh memutuskan akan menyakiti hati siapa.”
Cathy tertawa pahit. “Aku terdengar jahat.” Ia menyentuh rambut coklatnya yang panjang sambil menatap getir. “Mungkin aku memang jahat. Jiwaku sudah rusak. Aku rusak.”
“Tidak, Cathy. Kau tidak jahat,” kata Kayla dengan perlahan. “Kau hanya orang yang menjadi korban.”
Kayla membelai rambut Cathy dengan lembut.
“Tapi aku sangat egois dan hanya memikirkan diriku sendiri!” kata Cathy. “Kalian pantas membenciku.”
Jessie, yang memperhatikan cerita itu dengan sungguh-sungguh, sekarang mulai menggunakan gilirannya berbicara.
“Kau mau tahu apa yang kupikirkan, Cath?” tanya Jessie. “Kau memang pantas dibenci. Dan aku—sangat muak padamu, meskipun sudah memaafkanmu. Kau harus tahu, Cath, kau sangat beruntung memiliki kami sebagai temanmu. Dan yang terpenting, kau sangat beruntung memiliki sahabat seperti Julie. Dia adalah alasanku kenapa memaafkanmu secepat ini. Dia adalah sahabat terbaikku dan aku tahu dia pasti akan marah padaku jika berlama-lama memusuhimu.”
“Aku sangat menyesal dengan apa yang kulakukan—” kata Cathy sungguh-sungguh.
“Ya! Kau memang seharusnya menyesal,” potong Jessie cepat-cepat. “Dan yang paling harus kau sesali adalah karena kau menyembunyikan semua ini dari kami! Sial! Kenapa kalian semua suka sekali menyimpan rahasia? Julie juga sama saja! Kalian semua suka memendam rahasia, seolah-olah tidak mempercayai kami sebagai sahabat kalian.”
“Aku setuju. Semua ini tidak akan terjadi kalau kita saling berterusterang satu sama lain,” kata Kayla dengan tenang. “Sejujurnya aku merasa kecewa karena baru mengetahui ceritamu sekarang. Kupikir aku sudah cukup perhatian pada semua orang, tapi kenyataannya aku tidak mengetahui apa pun yang disembunyikan oleh sahabat-sahabatku. Jessie benar. Dan aku merasa sakit hati karena tidak dipercayai oleh teman-temanku sendiri. Cathy, aku jarang mengatakan ini padamu, tapi sesungguhnya aku tidak mau lagi berusaha menebak-nebak isi pikiranmu. Aku ingin suatu saat kau mempercayaiku tanpa harus aku yang memintanya.”
Kayla mengubah posisi duduknya. Ia meluruskan tulang punggungnya dan duduk lebih tegap daripada sebelumnya. Wajahnya mengeras, mengesankan pesan kesungguhan yang ingin disampaikan pada mereka semua. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat.
“Siapakah kita ini? Apakah orang asing yang hanya berkumpul untuk bersenang-senang saja?” kata Kayla dengan tegas. Suaranya terdengar lebih lantang. “Coba renungkan ini baik-baik. APA KITA MEMANG SUNGGUH-SUNGGUH TEMAN? APA ARTI SAHABAT UNTUKMU?”
Cathy terdiam.
“Kejadian ini menegurku sesuatu hal yang penting. Sesuatu hal yang selama ini kita lupakan. Sesuatu yang hanya kuanggap remeh,” kata Kayla tegas. “The Lady Witches—bukan sahabat. Kita hanya kenalan di saat senang, kenalan yang menjadi orang asing di saat kesulitan.”
Perkataan Kayla barusan menusuk jantung mereka. Gadis-gadis itu terdiam. Udara dingin yang berhembus malam itu menambahkan rasa bersalah yang menyelimuti hati mereka. Tidak ada lagi keheningan yang lebih dingin daripada ini.
“Kalau kita memang merasa saling bersahabat, mulai dari sekarang kita harus bersikap selayaknya sahabat yang sebenarnya. Kita berbagi rahasia, bukan menyembunyikannya,” kata Kayla. “Ini kusampaikan pada kalian sekarang, karena aku pun juga sama berdosanya. Aku tidak pernah bercerita lebih banyak pada kalian tentang kelanjutan hubunganku dengan Steve, bukan? Kenyataannya adalah—dia menolakku. Menurutnya, aku terlalu dewasa. Tapi aku tak sempat menceritakannya pada kalian, karena kalian terlalu sibuk mengagumi Richard.”
“Kayla,” Gadis-gadis itu bergumam.
“Tapi tidak apa, aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Aku sendiri tidak merasa itu hal yang penting,” kata Kayla. “Sekarang aku mulai memahami kenapa kau melakukan hal itu, Cath. Kau mengira itu hal yang tidak penting bagi kami. Kau mengira kisahmu ini tidak ada artinya untuk kami. Padahal jika kita adalah sahabat, setiap hal kecil dan besar adalah hal yang sama pentingnya. Jika ini besar untukmu, maka sebagai sahabat yang baik, hal ini adalah hal yang besar untuk kami juga. Kita seharusnya saling berbagi. Bukan hanya kesenangan dan canda tawa saja, tapi juga kisah sedih yang mempengaruhi perasaan kita. Sekarang jawab pertanyaanku. Pernahkah kita berbagi kesedihan? Tidak. Tidak pernah. Tidak sekali pun. Mulai dari sekarang, kita harus lebih terbuka dengan perasaan kita masing-masing. Tidak ada lagi kepura-puraan. Aku ingin—tidak ada lagi rahasia. Setuju?”
Gadis-gadis itu mengangguk.
“Pertanyaanku yang berikutnya, Cathy,” kata Kayla. “Apa yang terjadi padamu dengan Jake? Aku tahu kau menyembunyikan kenyataan yang berhubungan dengan Emma dari kami selama ini. Katakan pada kami. Apa yang sebenarnya pernah terjadi di antara kalian? Apa yang terjadi saat dulu Julie memergokimu menangis setelah diganggu Emma?”
Cathy tidak langsung menjawab. Dia melihat ke arah Cassandra, Lucy, Jessie, Nick, dan Richard, lalu menelan ludahnya.
“Dia—“ kata Cathy terbata-bata. “—menangkapku dan memojokkanku di belakang gedung sekolah. Tempat biasanya ia dan teman-temannya melakukan penyiksaan. Dia dulu mengancamku untuk tidak mendekati Jake. Dia berkata kalau ia sanggup melakukan hal yang lebih kejam lagi jika aku masih tidak menghiraukan ancamannya.”
“Apa yang dilakukannya padamu?” tanya Kayla.
Cathy tersenyum getir, sejujurnya sangat tidak ingin menceritakan hal ini. Ia butuh waktu beberapa puluh detik sampai akhirnya membuka mulutnya. “Dia meminumkan urinnya padaku.”
“APA?”
Cathy mulai lepas kontrol. “Memalukan! Bagaimana mungkin aku menceritakannya pada kalian!”
Cathy hampir saja bangkit dari tempat duduknya dan ancang-ancang untuk pergi menjauh sejauh-jauhnya dari mereka.
“Menjijikkan! Aku jijik pada diriku sendiri. Aku tak bisa menghadapi kalian seperti ini!” Cathy semakin menjadi-jadi. Kejadian itu begitu traumatis di benaknya, sampai-sampai sikap tenang yang tadinya susah payah ia pertahankan, kini mulai lepas kendali.
“Cathy, tenanglah!” perintah Kayla. Ia menangkap tangan Cathy dan berusaha menenangkannya. Lucy dan Cassandra ikut membantu.
“Kalian harus mengerti kenapa aku tidak bisa menceritakan hal ini. Aku tidak ingin menangis untuk wanita jalang itu!” kata Cathy dengan napas menderu-deru. “Emma dan teman-temannya mengikatku di tempat terkutuk itu. Lalu dia menghinaku sedemikian rupa! Lalu dia merusak barang-barangku. Lalu dia merendahkan semua hal yang kumiliki.”
“Kau seharusnya melaporkan tindakannya ke kepala sekolah,” kata Lucy.
Cath tertawa skeptis.
“Dan membiarkan mereka tahu aku meminum air urin Emma? Tidak akan pernah!” kata Cathy. “Aku tidak akan membiarkan harga diriku diinjak-injak seperti itu! Lebih baik aku mati!”
“Cath, kau tahu aku tidak suka kata yang terakhir kau sebutkan barusan,” kata Jessie dingin. “Kau harus meralatnya.”
Cathy mulai bersikap tenang.
“Ya, maafkan aku. Aku hanya—“ Cathy menghela napas panjang. “Tidak suka gadis itu.”
“Jika kau menceritakan hal itu lebih awal pada kami, apa yang kau takutkan terjadi? Apa kau takut kami akan menertawakanmu?” tanya Jessie. Ia tertawa kecil. “Iya. Aku memang akan menertawakanmu.”
Kayla mendesis. “Jess.”
“Maksudku,” jelas Jessie. “Kenapa kau harus berlebih-lebihan menanggapi sesuatu? Jika kau menceritakannya pada kami, mungkin kami akan tertawa sebentar, dan tidak percaya apa yang kau katakan. Tapi jika dia memang sungguh-sungguh menyakitimu, kami pasti akan jadi yang pertama membelamu. Kenapa pikiran itu tak pernah terlintas di kepalamu?”
Cathy menggeleng.
“Kau tak tahu Emma,” kata Cathy.
“Aku tak tahu, karena tidak pernah kau jelaskan,” jawab Jessie sengit. Kayla mulai mencium gelagat yang kurang menyenangkan di antara mereka berdua. Sebelum Kayla sempat mendamaikannya, Lucy segera menimpali.
“Emma sangat piawai untuk menciptakan kata-kata jahat yang menyakitkan,” kata Lucy. “Kurasa dia juga sudah memanipulasi pikiran Cathy supaya alam bawah sadarnya menolak menceritakan hal ini pada orang lain. Sama seperti yang dilakukannya terhadap Cathy. Siapa yang bisa percaya kalau sang bintang idola sekolah, yang selalu dipuja-puja guru karena prestasinya yang membanggakan, memaksa juniornya untuk meminum air urinnya sendiri? Bahkan walaupun Emma tak membisikkan kata-kata manipulatif yang menyentuh ego korban-korbannya, siapa pun juga tidak akan percaya dengan kebenaran berita itu. Dia terlalu sempurna untuk dibayangkan melakukan kejahatan itu.”
“Dari mana kau tahu?” kata Cathy.
“Desas-desus,” jawab Lucy. “Salah seorang korbannya pernah bercerita padaku. Tidak banyak, tapi aku menyimpulkan sendiri. Tania Lawless, jika kalian masih ingat. Dia dulu anggota klub akademis, sebelum memutuskan pindah sekolah.”
“Tania Lawless?” sahut Nick tiba-tiba. “Itu kan gadis yang ada di video dari Rich—”
Richard berdehem keras. Ia memandang Nick dengan tatapan penuh arti. Nick langsung membatalkan ucapannya saat melihat reaksi dari Richard. “Tidak apa-apa, teruskan. Teruskan. Aku hanya menceracau,” kata Nick.
“Apakah Emma masih mengganggumu setelah itu?” tanya Kayla.
Cathy mengangguk. “Iya. Beberapa kali. Di antara jam-jam istirahat atau saat jam pulang sekolah, mereka menyeretku dan menjebakku. Hanya gertakan-gertakan yang sama, tidak lama, setelah itu melepaskanku kembali. Gangguan itu terhenti setelah Emma pindah ke luar negeri beberapa bulan yang lalu. Teman-temannya tidak menggangguku. Mereka bersikap biasa saja. Entah karena mereka adalah budak pengecut yang tolol, atau karena memang Emma-lah yang menjadi sumber kejahatannya.”
Cathy terlihat sinis dan bangga di waktu yang bersamaan.
“Untuk menunjukkan harga diriku, aku memacari Jake. Aku tidak takut pada gertakan Emma. Dia hanya gadis payah yang menyedihkan. Dia pikir dia gadis tercantik di dunia?” kata Cathy dengan ekspresi jijik. Kesombongannya mulai keluar lagi. “Jake bertekuk lutut padaku. Ini bukti bahwa dia sama sekali tidak berharga. Dia jauh lebih rendah daripadaku.”
“Kau mulai terdengar mengesalkan,” kata Jessie.
“Apa yang kau harapkan? Aku memang seperti ini,” protes Cathy membela diri. “Aku memang bersalah pada Julie, aku akui itu. Tapi aku tidak bisa mengubah sifatku yang ini. Ini bawaanku sejak lahir. Aku benci Emma, dan aku tidak akan ragu-ragu menyatakannya. SEEKSPRESIF MUNGKIN. Terimalah, ini aku, Jessie SAYANG.”
Gaya sombong Cathy yang mengesalkan itu membuat Jessie ingin menonjoknya sekali lagi. Tapi ia sadar, Cathy memang benar. Sikapnya yang dramatis dan berlebih-lebihan itu memang bagian dari kepribadiannya yang tidak bisa berubah. Justru sifatnya itulah yang menjadi bumbu di dalam kelompok mereka. Perlahan-lahan, suasana percakapan di antara mereka mulai kembali hangat dan santai, seperti dulu lagi.
“Awas kau,” ancam Jessie, hanya bermain-main.
Kayla mulai mengembalikan pembicaraan ke topik semula. “Lalu apa yang terjadi setelah Emma kembali ke Nimberland?”
“Dia melabrakku,” kata Cathy. “Tadi sore. Itu pertama kalinya dia melabrakku sejak kembali ke kota Eastcult.”
“Kau tadi bilang Julie tadi menolongmu dari Emma. Apakah itu ada hubungannya dengan luka bakar di pergelangan tangan Julie?” tanya Kayla.
Cathy mengangguk.
“Emma dan kawan-kawannya baru saja akan menyiksaku tadi ketika Julie akhirnya datang. Aku tak tahu darimana dia mengetahui lokasi ini. Setahuku, Emma dan kawan-kawannya menyembunyikan fakta kejahatan mereka dengan sangat rapi,” kata Cathy. “Awalnya Emma mengajak Julie untuk menyaksikan penyiksaanku, tapi Julie malah menentangnya dan membelaku. Akhirnya Emma memutuskan untuk memberinya hukuman perkenalan.”
Cathy meringis.
“Apa yang kupikirkan? Bahkan setelah Julie melakukan hal itu untukku, aku masih saja memperlakukannya dengan jahat?” desah Cathy frustasi. “Julie kemudian memperlihatkan sebuah video dari ponselnya, yang membuat Emma benar-benar gusar. Kurasa itu bukti kejahatan Emma, yang selama ini selalu sulit didapatkan. Aku tak tahu dari mana Julie mendapatkannya.”
“Video?” tanya Kayla.
“Iya. Video penyiksaan Tania Lawless, yang dibilang Lucy barusan tadi. Aku tak sempat memikirkan bagaimana gadis itu bisa mendapatkannya, yang kupikirkan saat itu hanyalah betapa Julie telah mempermalukanku dengan segala kesempurnaannya. Dia bahkan berhasil mengusir Emma dan teman-temannya dari tempat itu. Dia—seperti seorang pahlawan. Dan itu membuatku semakin marah padanya! Dia ingin menolongku, tapi aku malah membentaknya. Aku pergi, dia mengejarku. Aku mengusirnya, dia mulai meneriakiku untuk berhenti.”
Cathy tampak geram.
“Tidakkah ia tahu kalau aku sangat tidak ingin melihat wajahnya? Kenapa dia benar-benar bodoh? Aku bahkan tak pantas mendapatkan maaf darinya.”
“Dia memang sebodoh itu dari dulu,” kata Jessie. “Itu yang membuatnya istimewa.”
“Entahlah. Yang kuinginkan sekarang hanyalah meminta maaf padanya. Aku sudah menjadi teman yang terlalu buruk. Mulai dari sekarang, aku berjanji akan berubah untuk Julie. HANYA UNTUK JULIE SAJA. Ingat itu,” kata Cathy dengan penekanan khusus.
“Dia mengorbankan nyawanya untukku, di saat seharusnya aku yang pantas berada di posisinya saat ini. Seharusnya aku yang terbaring di sana, bukan Julie. Aku berhutang budi padanya, sangat banyak. Kejadian ini menyadarkanku akan banyak hal. Kurasa hidupku tak akan sama seperti dulu lagi.”
“Tak hanya kau yang berubah, Cathy. Julie pun juga begitu. Tidakkah kalian memperhatikannya?” tanya Kayla. “Jess, kau dan aku paling tahu Julie dari dulu sifatnya seperti apa. Dia tak pernah ambil pusing akan apa pun.”
Jessie tertawa kecil.
“Dia manusia tersantai yang pernah kukenal seumur hidupku,” kata Jessie sambil mengangguk.
“Julie itu tipe orang yang selalu berpikir pendek. Semua yang dia lakukan di dalam hidupnya seperti tanpa pertimbangan sama sekali. Benar-benar cuek. Kecerobohannya adalah efek samping dari kelemahannya yang satu ini,” kata Kayla. “Dia tak pernah mengkhawatirkan masalah, atau mengkhawatirkan apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Dia tak peduli pada dirinya sendiri. Sifatnya yang sangat gegabah ini sering membuatnya tertimpa masalah sejak dulu, tapi lagi-lagi—ia tak pernah merasa perlu memikirkannya. Hukuman apa pun yang menimpanya tak pernah membuatnya merasa tidak ingin bergembira.”
“Singkatnya, dia itu sapi bodoh,” sambung Jessie.
“Aku tidak pernah melihat Julie bersedih selama ini, Cath, tidak selama bertahun-tahun aku mengenalnya. Baru kali ini aku melihat Julie bersedih memikirkan sesuatu. Dan dia benar-benar menahannya,” kata Kayla. “Bukan tipikal Julie yang suka berlama-lama memikirkan apa pun, apalagi menghadapi masalah-masalah yang ditemuinya. Dia biasanya selalu lari dari masalah apa pun, atau berpura-pura tidak mengingatnya. Tapi kali ini, masalah dia denganmu, Cath, dia tak bisa lagi seperti itu. Entah kenapa, dia sangat ingin menyelesaikan pertikaiannya denganmu. Dia tidak bisa lagi berlama-lama pura-pura tidak terjadi apa-apa dengan perasaannya.”
“Aku yakin, masalahnya denganmu telah membuatnya tumbuh menjadi lebih dewasa sekarang. Semua hal yang selama ini ia lakukan dengan sangat gegabah dan cuek tanpa khawatir akibatnya sama sekali, aku yakin sekarang dia sudah mulai mempertimbangkannya dengan baik. Dia belum pernah mengalami ini sebelumnya, kehilangan seorang teman,” kata Kayla. “Kalau kau kenal Julie dari dulu, kau akan tahu kalau nilai yang paling dijunjung Julie dan selalu membuatnya rela berkorban apa pun adalah pertemanan. Apa pun yang terjadi dalam hidupnya, Julie tidak akan pernah memikirkan dirinya sendiri. Dia hanya ingin membahagiakan teman-temannya. Itu yang membuatnya lebih memilihmu ketimbang Richard, walaupun aku yakin dia sebenarnya sedang membohongi perasaan sendiri. Kau ingin tahu kenapa Julie sangat spesial untukku dan juga Jessie?”
Cathy tersenyum. “Aku sudah tahu.”
“Termasuk kenapa anak laki-laki tergila-gila pada Julie padahal wajahnya dia tidak cantik sepertimu?” imbuh Jessie.
“Aku SUDAH tahu,” kata Cathy, menimpali Jessie dengan kesal. “Kecantikan hatinya yang membuat kalian menyukainya, bukan? Aku pun baru sadar kalau aku tertarik padanya karena hal itu.”
“Bukan. Tapi karena feromon di ketiaknya,” jawab Jessie. Cathy menggeram kesal dan siap-siap mencakarnya.
“Walaupun aku tidak suka dengan cara kita melalui kedewasaan ini, tapi aku harus berterimakasih padamu karena kau telah memberikan Julie sebuah pelajaran yang berharga,” kata Kayla. “Kau telah memberikan kita semua pelajaran yang berharga. Aku pun banyak belajar dari peristiwa ini.”
Gadis-gadis itu mengangguk.
“Aku juga banyak belajar,” kata Cassandra. “Maafkan aku karena tidak bisa menjadi teman yang baik untuk kalian dan juga Julie. Aku—aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku ingin bersama Cathy, tapi aku juga ingin bersama kalian, hanya saja—”
“Sudah kubilang kan, ini bukan salahmu,” kata Cathy. “Jangan paksa aku mengulanginya lagi, Cass.”
Cassandra menunduk patuh, lebih-lebih karena ngeri. Gadis-gadis itu tertawa.
“JADI,” kata Cathy. “Semua sudah tertawa. Julie juga sudah membaik. Happy ending! Apa lagi yang ingin kalian tanyakan? Sudah terjawab semua, bukan?”
Kayla mengerutkan keningnya.
“Belum,” kata Kayla. “Ada satu kisah yang belum kita dengarkan.. dan itu adalah dari Richard. Sangat banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Richard, dan aku yakin kalian ingin mendengarnya juga.” Gadis-gadis itu mengangguk antusias.
Kayla mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Richard. Sedikit lagi, seluruh pertanyaan yang ada di benaknya akan terjawab. Ia memandangi rambut emas Richard yang berkilau di bawah cahaya lampu.
“Pertanyaan pertamaku adalah—Richard, kenapa kau tidak mengatakan yang sejujurnya bahwa kau menyukai Julie?”
Richard memasang telinganya saat mendengar namanya disebut. Tapi ia masih membuang muka, tak sedikit pun melihat ke arah mereka.
“Richard, katakan sesuatu,” kata Kayla.
Richard diam saja.
“Richard,” kata Kayla sekali lagi.
Richard masih memaku tatapannya ke rimbunan gelap pohon oak yang tumbuh tinggi lima ratus kaki jauhnya dari mereka. Matanya menerawang tanpa nyawa.
Kayla menghela napas kesal. Ia tahu benar kenapa Richard melakukan ini. “Kau masih marah padaku, Richard?”
Mereka menunggu reaksi Richard, tapi anak laki-laki itu tetap tidak menjawab apa pun. Ia mengatupkan kedua rahangnya dengan sangat rapat dan tidak memberikan respon apa pun atas pertanyaan Kayla barusan. Hal ini membuat Kayla meradang.
“Jadi, kau masih tidak mau berbicara apa pun padaku?” kata Kayla, mengingat pembicaraannya yang terakhir dengan Richard memang tidak berakhir menyenangkan. Sejak saat itu Richard selalu menghindarinya. “Setidaknya, bicaralah pada mereka. Kau berutang penjelasan pada mereka. Aku akan pergi dari sini jika kau mau.”
Richard tetap bergeming. Mulutnya terkatup membentuk garis wajah yang muram.
“Baiklah. Kalau kau tak mau bicara apa-apa, sekarang izinkan aku yang berbicara. Aku akan mengatakan apa yang kupikirkan tentangmu, tepat di depan mereka semua. Mengerti?” kata Kayla dengan nada mengancam. “Menurutku, kau adalah anak laki-laki paling pengecut yang pernah kukenal. Aku menyesal karena pernah menyukaimu, Richard. Kau menciptakan masalah ini, dan sekarang kau lari dari masalah. Kau menghancurkan persahabatan teman-temanku, lalu kau menghilang begitu saja. Kau bahkan lebih buruk daripada Julie dan Cathy.”
Rahang Richard mengeras. Ekspresinya sangat kaku, seperti es.
“Kau tidak mau mengklarifikasi pernyataanku? Kau masih tidak mau menjelaskan semua ini dari sudut pandangmu?” kata Kayla dengan intonasi tajam. “Apa kau mau aku terus-menerus menjelek-jelekkanmu? Karena hanya itulah yang bisa kupikirkan saat ini. Kau tidak memberiku kesempatan untuk berpikir hal apa pun yang baik tentangmu.”
Serangan bertubi-tubi Kayla terhadap Richard membuat gadis-gadis yang melihat kejadian itu langsung ngeri. Mata Kayla berkilat marah dan nada suara yang kejam, menantang Richard yang selama ini menjadi idola mereka.
“RICHARD!” bentak Kayla.
Richard menarik napas sangat panjang, tapi membuang wajahnya semakin jauh dari mereka.
“Pengecut. Bahkan aku tak tahu kenapa kau ada di sini,” kata Kayla pedas. “Kalau kau memang hanya memikirkan dirimu sendiri saja, Richard, seharusnya kau berada di rumahmu dan menikmati kenyataan betapa seorang korbannya dirimu. Iya. Aku tahu, kau berpikir adalah korban, padahal sebenarnya kaulah penyebab semua ini. Kau menyalahkanku karena merusak rencanamu untuk hidup tenang di antara kami semua.”
“Kau menyukai Julie, tapi kau malah memacari Cathy. Aku tak pernah mengerti alasanmu yang satu itu,” kata Kayla. “Kau menyalahkanku karena membocorkan rahasiamu. Tapi yang terjadi sebenarnya adalah aku hanya ingin menyelamatkan sahabat-sahabatku sebelum kau menjerumuskan mereka ke dalam jurang yang lebih jauh lagi. Karena kau tak pernah benar-benar peduli pada mereka sama sekali. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Cathy memang egois. Dan kau—adalah yang paling egois.”
“Kau tahu apa yang paling tidak kusukai darimu? INI. SIKAPMU YANG INI.” Kayla mencemoohnya tanpa ragu-ragu. “Sikap diammu adalah pilihan yang paling buruk di antara semua pilihan yang ada. Sikapmu ini sungguh-sungguh mengecewakan. Betapa tidak dewasanya seorang Richard Soulwind dan betapa kekanak-kanakkannya setiap reaksi yang kau tunjukkan. Lihat? Kalian bisa lihat, teman-teman, pangeran yang kalian puja-puja selama ini, hanyalah seorang pengecut!”
Nick memotong dengan tidak sabar. “Wow. Tunggu! Tunggu dulu! Dia tidak seburuk yang kalian pikirkan.”
“Lalu kenapa dia hanya diam saja dan tidak meluruskan ucapanku?” tanya Kayla.
Nick memandang ke arah Richard yang tidak mengubah sikapnya sama sekali. “Dia.. Yeah, dia—kau tahu, dia itu, kompleks.”
Nick berusaha membujuk Richard untuk berbicara pada mereka. Tapi Richard masih tidak ingin mengatakan sepatah kata pun. Posisi ini membuat Nick merasa serba salah.
“Dia tidak percaya padamu, Kay. Itu masalahnya,” kata Nick. “Dan sebelum kau memutuskan untuk pergi, Kay, yang harus kau tahu dia tetap tidak akan berbicara apa-apa pada kalian. Dia itu—umm, yeah—bagaimana mengatakannya, ya? Dia memang orangnya seperti ini. Sangat sulit berbicara. Aku saja susah setengah mati membuatnya mengeluarkan suara. Rasanya seperti ngobrol dengan dinding. Kau tahu, kan?”
Nick menghembuskan napas seperti orang kelelahan.
“Begini saja. Richard, biar aku yang berbicara untukmu. Aku akan menjelaskan apa yang tidak mereka ketahui, supaya mereka tidak salah paham lagi padamu. Kenapa? Karena aku gemas! Aku tidak bisa melihat mereka memperlakukanmu seperti ini. Kenapa kau diam saja, sih??”
“Apa yang kami tidak ketahui?” tanya Jessie, mengernyitkan wajahnya.
“Sebenarnya, ini rahasia antara aku dengan Richard. Tapi—” Nick memandang Richard yang masih membuang muka. Ia menghela napas panjang. “Richard. Kalau kau masih diam saja, aku benar-benar akan membocorkan ini, kau tahu?”
Gadis-gadis itu mulai penasaran.
“Baiklah! Karena kau diam saja, jadi kuanggap kau mengizinkan,” kata Nick gerah. “Begini, Ladies. Sebenarnya Richard tidak sedingin dan sejahat yang kalian pikirkan. Dia sadar kalau dia sudah merusak persahabatan kalian, tapi yeah—karena kepribadiannya yang kompleks—dia tidak bisa mengungkapkan rasa bersalahnya dengan baik. Dia menghindar dari kalian, aku tahu itu memang bukan tindakan yang bertanggungjawab, tapi yeah lagi-lagi, itu memang kelemahannya. Itu kelemahan Richard. Kenyataannya, dia itu memang orang yang sangat sensitif. Ini menurut pengamatanku. Sekali lagi. Bukan Richard yang bilang, tapi ini hasil pengamatanku. Dia itu sangat sensitif, seperti anak perempuan.”
Richard menoleh kaget.
“Apa? Kau mau protes?” kata Nick. “Menurutku kau memang seperti anak perempuan. Cengeng. Banci. Akui saja. Ya kan? Coba bantah aku kalau kau tidak setuju.”
Richard membuang mukanya lagi.
“Dia menyukai Julie dari dulu,” lanjut Nick. “Lebih awal daripada yang kita bisa perkirakan. Dan kenapa dia tidak langsung memacari Julie saja? Sederhana. Karena itu JULIE. The Unbeatable. SI MUSTAHIL. Kurasa Richard frustasi dengan rasa sukanya pada Julie, atau karena selama ini dia tidak pernah harus mengejar anak perempuan sama sekali. Mungkin Julie cinta pertamanya? Entahlah, aku tak tahu. Si Muka Dinding ini tak pernah mau mengakuinya padaku. Yang jelas, aku tahu Julie telah membuatnya kesulitan, karena selama ini dia terbiasa dikejar-kejar anak perempuan, bukan sebaliknya. Kau terbiasa digila-gilai oleh gadis-gadis yang rela melakukan apa pun untukmu, lalu kau malah jatuh cinta dengan SI MUSTAHIL? Oh. Kalian bisa bayangkan betapa konflik di hatinya saat ini. Segala kemudahan dengan wajah tampan yang dimilikinya langsung menghilang begitu menghadapi Julie—aku bisa memahaminya, sebagai sesama orang tampan.”
“Seharusnya tidak ada yang bisa menyalahkan kalau akhirnya Richard memilih Cathy. Julie mustahil. Sementara, Cathy sangat cantik dan benar-benar tergila-gila pada Richard. Richard bilang padaku kalau ia memutuskan untuk melupakan Julie dan mencintai Cathy. Ini sungguh-sungguh. Richard memang ingin memilih Cathy,” kata Nick pada Kayla. “Sampai akhirnya kau merusak rencananya. Kuakui, Kay, sebenarnya ini memang bukan rencana yang baik juga. Bukannya melupakan Julie, aku tahu dia justru malah semakin menyukai Julie sejak mereka saling berdekatan. Bodoh. Drama ini sangat bodoh. Karena kecemburuannya pada Jerry dan Julie-lah yang membuatku akhirnya menyadari siapa yang disukai Richard sebenarnya. Susah payah aku memintanya mengakui rahasianya, Kay. Jadi bukan kau saja yang merasa kesulitan menaklukkan Si Kepala Batu ini.”
Kayla menggeleng tidak simpatik.
“Itu tetap tak membuatku terkesan dengan sikap yang dipilihnya,” suara Kayla terdengar sarkastis.
“Benar sekali. Kau benar. Aku juga tidak terkesan,” imbuh Nick. “Tapi yang harus kalian ketahui adalah—dia berusaha memperbaiki kesalahannya dengan caranya yang ia mengerti. Dia ingin menyatukan kalian lagi, dengan kemampuan yang dia miliki. Dia ingin menolong Cathy dari Emma dan membuat Julie dan Cathy berbaikan kembali. Video penyiksaan itu? Itu dari Richard. Richard yang memberikannya pada Julie.”
“Apa?”
Sejenak, terdengar suara bergemuruh setelah Nick menyelesaikan kalimatnya barusan. Cathy melayangkan pandangan haru ke arah Richard, meskipun Richard tak menatapnya kembali.
“Benarkah?” tanya Cathy.
Nick mengangguk. “Ya. Selama beberapa hari terakhir ini, ia berkeliling dan mewawancarai semua anak perempuan di kelas Dua Belas yang memiliki hubungan dengan Emma. Aku tak tahu bagaimana dia melakukannya. Tapi akhirnya salah satu dari anak perempuan itu memberikannya sebuah petunjuk yang sangat penting. Seseorang pernah merekam video Tania Lawless! Video itu—lagi-lagi aku tak tahu bagaimana dia mendapatkannya, dia tidak pernah mau bilang—adalah bukti kunci yang bisa mengakhiri kejahatan Emma.”
Lucy terlihat bingung.
“Bukankah selama ini tidak pernah ada seorang pun yang bisa merekam video itu? Setahuku, Emma sangat berhati-hati dengan semua tindakannya,” tanya Lucy. “Dan Richard harus mencari tahu barang bukti itu tanpa ketahuan Emma sama sekali.”
“Benar. Sial! Bagaimana kau melakukannya, Richard? Kau bisa membuatku mati penasaran.” Nick menggerutu.
“Video itu membuat Emma sangat marah,” kata Cathy. “Dia benar-benar marah. Aku tak pernah melihat dia semarah itu sebelumnya. Video itu bahkan bisa mengakhiri beasiswanya di luar negeri.”
“Itulah Richard. Pintar. Dia tak perlu menunjukkan perasaannya yang cengeng dan seperti anak perempuan itu untuk menyelesaikan masalah yang dibuatnya. Hanya saja, dia tidak pandai menyatakan apa yang ada di pikirannya, semuanya disimpan sendiri, sehingga kalian selalu salah paham padanya,” kata Nick sambil bersungut-sungut. “Kalau saja aku bukan orang tersabar sedunia, aku juga mungkin akan menjadi gila berteman dengan orang semisterius dia.”
“Lalu, apa rencana Richard setelah ini?” tanya Cassandra.
Nick mengangkat pundak.
“Aku tak tahu. Tanya saja sendiri,” kata Nick. “Yang kutahu, seharusnya video itu menjadi bahan berita yang akan diperbincangkan Richard dengan Jerry. Kenapa Julie sampai memilikinya hari ini? Aku tak tahu. Aku tak bisa membaca pikiran dia. Tanya saja sana. Itu pun kalau Richard mau menjawab.”
Gadis-gadis itu mulai melihat Richard dengan sisi yang berbeda. Lekukan wajah anak laki-laki itu, yang menolak memandang ke arah mereka, telah mencetak siluet yang diciptakan sinar lampu taman di keremangan malam itu. Kulitnya bertemu dengan dinginnya angin, namun tak sedikit pun membuatnya bergidik. Matanya yang memandang jauh ke cakrawala, terlihat kesepian.
Nick berinisiatif menyelesaikan ini untuk Richard. Anak laki-laki itu sudah cukup menderita dengan hukuman yang diterimanya selama ini. Dia pantas mendapatkan penghargaan yang lebih baik.
“Atas nama Richard, aku ingin kalian tahu, Richard meminta maaf atas semua yang dilakukannya. Dia ingin menyampaikannya langsung, tapi kalian tahu kan, dia punya masalah dengan kepribadiannya yang—” kata Nick.
“Selama bukan Richard yang mengucapkan itu secara langsung, aku tetap tidak akan memaafkannya,” tukas Kayla tidak puas. “Nick, kau bisa berkata apa saja untuk memperbagus image Richard di mata kami, tapi yang kutahu, Richard telah menyakiti Julie. Dan dialah penyebab kenapa Julie terbaring di rumah sakit saat ini. Sifat pengecutnya itulah yang telah mencelakakan Julie—”
“Aku minta maaf.”
Richard menoleh ke arah mereka. Matanya yang biru seperti air laut menatap Kayla dengan pandangan yang sedih dan lembut.
“Aku minta maaf, Kayla,” ucapnya sekali lagi. Suaranya terdengar pelan dan pilu. “Aku minta maaf pada kalian karena telah menyebabkan keonaran ini. Aku sangat bersalah pada Cathy, Julie, juga padamu, Cassandra, Lucy, dan Jessie. Kau benar. Semua ini kesalahanku. Aku tidak akan mengingkari apa pun yang kau katakan tentangku. Semuanya benar.”
Gadis-gadis itu terdiam kaku. Bulu kuduk mereka bergetar hebat begitu mendengar Richard bersuara. Entah kenapa, amarah yang tadi menghantui mereka menguap setelah mendengar suara Richard yang sangat lembut.
“Jika diperbolehkan, aku ingin bicara berdua saja dengan Cathy,” kata Richard. Pandangan halusnya selembut beledu. “Kumohon.”
Cathy membuka mulutnya tanpa berkata-kata.
***
BACA SELANJUTNYA >>
Catatan dari Naya:
Update berikutnya adalah obrolan Cathy dan Richard. Kira-kira, apa yang ingin kalian tanyakan ke Richard? Apa misteri yang menurut kalian ingin dijawab Richard nanti..? Apa yang masih bikin kalian penasaran sama Richard?
Tulis di bagian komentar, yaa? Siapa tahuu, nanti Richard mau menjawabnya! Hehehe.
Ditunggu ya! 😉